Ferry Fathurokhman*
Beberapa waktu lalu kita disuguhkan berbagai pemberitaan mengenai penegakan
hukum yang memiriskan. Barangkali benar apa yang pernah dituliskan begawan
hukum, almarhum Satjipto Rahardjo (Prof Tjip), Indonesia adalah laboratorium
hukum yang luas. Berbagai penegakan hukum yang ‘aneh’ banyak terjadi di
Indonesia. Prof Tjip banyak mengkaji setiap persoalan hukum yang terjadi di
negeri ini. Bahkan sebelum berpulang, ia masih sempat menulis mengenai Prita
Mulyasari di sebuah harian nasional. Prof Tjip adalah seorang yang gelisah
dengan semrawutnya penegakan hukum. Pernah suatu ketika ia jatuh sakit dan
berbagai persoalan hukum berseliweran terjadi tanpa ia dapat berbuat apa-apa.
Baginya peristiwa itu telah menjadi sebuah kesedihan tersendiri. Kini
sepeninggalnya, persoalan penegakan hukum yang timpang terus terjadi dan
semakin sedikit orang yang mengkritisi. Tulisan ini pada dasarnya didedikasikan
untuk Alm Prof Tjip yang telah menggagas pemikiran hukum progresif, sehingga
saya, masyarakat, penegak hukum mendapatkan penyegaran kembali mengenai hakikat
hukum dan penegakan hukum. Sebab proses penegakan hukum yang ‘tak bermutu’ kini
semakin banyak terjadi. Kita disuguhkan pemberitaan yang memaksa kita
mengernyitkan kening : pencurian kakao (buah cokelat), semangka, randu (kapuk),
hingga yang terbaru terjadi di Serang Banten, pencurian sehelai kaus.
Maraknya pemberitaan tersebut mencerminkan berbagai hal: bergesernya nilai
budaya Indonesia, keterbelengguan manusia akan undang-undang, hingga kurang
pahamnya kita atas nilai dasar hukum.
Pergeseran Budaya
Lawrence Meir Friedman, menuliskan bahwa hukum merupakan sebuah sistem. Sistem
hukum tersebut terdiri dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum
(Lawrence M Friedman, 1975:14-15). Budaya hukum adalah salah satu subsistem
yang paling berpengaruh atas penegakan hukum. Secara umum, budaya hukum dapat
kita bedakan menjadi dua bagian, internal dan eksternal. Budaya hukum internal
adalah budaya hukum yang ada pada penegak hukum seperti polisi, jaksa, advokat,
dan hakim. Sementara budaya hukum eksternal adalah budaya hukum yang ada pada
masyarakat yang mewujud dalam persepsi, harapan, dan kebiasaan masyarakat dalam
berhukum.
Budaya hukum adalah faktor yang paling dominan dalam penegakan hukum. Indonesia
pada dasarnya memiliki budaya kolektivitas, komunal, kemasyarakatan dan tidak
bersifat individuil (Supomo,1963:28). Sementara pada budaya Barat, yang kuat
adalah faktor individuil. Kita tahu bahwa KUHP yang sekarang kita gunakan
adalah produk Barat yang ditransplantasikan/’dicangkokan’ pada negara kita.
Secara singkat perlu diketahui bahwa KUHP (Wetboek van Strafrecht/WvS) terlahir
dari semangat hak individual liberalisme. Berawal dari hukum Romawi, Eropa
Barat (Perancis), Belanda dan dengan asas konkordansi kemudian WvS tersebut
‘berlabuh’ di negeri kita menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie (melalui Staatsblad 1915 No 732). Jadi hukum Barat pada dasarnya
‘dicangkokan’ di Indonesia. Sebenarnya ‘pencangkokan’ hukum ini banyak mendapat
kritikan bahkan dari bangsa Belanda sendiri sebagaimana pernah diungkapkan J
van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan, yang terutama bersandar
pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal (niet geƫigend) jika
diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) (Supomo dan Djokosutono,1954:19).
Rupanya perjalanan waktu telah membenarkan pernyataan Supomo dalam pidato
pengukuhan guru besarnya. Menurutnya dalam masyarakat yang menganut nilai
individualisme, terdapat sisi-sisi nilai kemasyarakatan yang berkembang.
Sebaliknya dalam masyarakat yang menganut kolektiviteit/komunalisme terdapat
sisi-sisi individualisme yang berkembang. Kasus-kasus semisal Minah ‘kakao’,
Aspuri ‘kaus’ telah membuktikan betapa masyarakat kita mulai menjadi masyarakat
yang individualis, menyingkirkan corak musyawarah dalam masyarakat kita.
Padahal, Indonesianis Daniel S Lev pernah menyimpulkan bahwa inti nilai dalam
masyarakat Indonesia adalah musyawarah. Dan hari ini, kita saksikan nilai
kebudayaan kita mulai terkikis.
Saya kira kita semua sepakat bahwa penegakan hukum dalam perncurian kakao,
kaus, semangka, randu dan yang lainnya adalah potret penegakan hukum yang
menyedihkan. Saya tidak mengatakan bahwa seorang pencuri harus dibebaskan.
Tetapi kasus-kasus semacam itu sebaiknya tidak diproses dalam kerangka litigasi
atas nama kepastian hukum. Penegak hukum harus memahami bahwa kepastian hukum
hanyalah satu dari tiga nilai dasar hukum: kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan. Dalam pelaksanaannya ketiga nilai dasar hukum tersebut terkadang
memilki suatu ketegangan (spannungverhaltnis) diantara yang lainnya. Sebagai
contoh jika mengutamakan kepastian hukum terkadang ia meminggirkan keadilan dan
kemanfaatan. Sebagai penegak hukum kita harus mengingat bahwa sekalipun tiga
nilai dasar hukum tadi tidak disusun secara hirarkis, namun keadilan harus
diutamakan, bukankah keadilan merupakan cita hukum?
Mari kita tengok kasus Aspuri sebagai contoh. Aspuri mengambil kaus lusuh yang
diduganya sudah tak terpakai di pagar rumah tetangganya, Dewi. Dalam
persidangan terungkap, kaus itu rupanya karena sudah kotor dibuang
Marhaban—orang yang disuruh Dewi untuk membersihkan rumahnya—ke pagar setelah
digunakan Marhaban untuk membersihkan perabotan rumah. Sehelai kaus itu memang
diambil Marhaban dari lemari Dewi untuk dijadikan lap. Aspuri kemudian
memberikan kaus tadi pada Juheli yang telah dianggap paman angkat oleh Aspuri.
Setelah Dewi melaporkan kasus tersebut kepada polisi, Marhaban baru
menyampaikan kepada Dewi bahwa dia yang membuang kaus ke pagar (Kompas Cyber
Media, 17/2/10).
Masyarakat kemudian prihatin melihat Aspuri yang harus ditahan selama menjalani
proses hukum. Apakah dengan konteks kasus Aspuri proses litigasi—termasuk pe
nahanan—perlu dilakukan sementara ia memiliki 30-an murid mengaji? Apakah tidak
ada jalan lain dalam menyelesaikan persoalan hukum ini? Bukankah Indonesia
adalah negara hukum dan bukan negara undang-undang? Dalam konteks Aspuri jelas
kepastian hukum ditegakan namun memarjinalkan keadilan dan kemanfaatan.
Meskipun Aspuri telah divonis, dan hukumannya sama dengan masa tahanan yang
telah dijalani selama proses hukum (Radar Banten, 16/2/2010), namun kasus-kasus
semacam Aspuri tetap relevan untuk dikaji sehingga diharapkan tidak ada lagi
‘Aspuri-Aspuri’ lain di kemudian hari.
Penegak Hukum Progresif
Penegak hukum khususnya polisi sebagai garda depan penegakan hukum dewasa ini
dituntut lebih cermat dalam menganalisis sebuah perkara. Setelah menerima
laporan, Polisi harus menganalisa apakah perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana. Jika perbuatan yang dilaporkan merupakan tindak pidana maka tahapannya
dapat ditingkatkan ke penyidikan guna menentukan tersangkanya. Namun bagi
penegak hukum progresif, analisa tidak hanya berhenti pada konstruksi hukum
antara perbuatan dan rumusan pasal. Ia juga harus mendalami konteks
kesalahan/pertanggungjawaban. Lebih jauh polisi harus memahami konteks
perbuatan dan melihat nilai dibalik norma, maksud dari pasal-pasal, guna
menentukan langkah selanjutnya. Jika kemudian Polisi memiliki penilaian bahwa
perkaranya ringan dan dapat diselesaikan dalam tatanan masyarakat, maka
hendaknya tak usah sungkan untuk melakukan diskresi. Bahkan jika perlu polisi
memediasi perkara tersebut sehingga keadilan tercapai di kedua belah pihak dan
pihak lain yang terkena dampak perbuatan tersebut.
Diskresi dimungkinkan dilakukan Polisi dengan mengacu pada Undang-Undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 18 ayat 1 yang redaksionalnya
berbunyi sebagai berikut: Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri. Bahkan secara ekstrem sekiranya tidak ada dalam
ketentuan undang-undang, maka Polisi harus berani menerobos undang-undang untuk
mencapai keadilan. Selama ini sebagian besar kita terjebak, terbelenggu dalam
undang-undang. Paradigma hukum progresif yang digagas Prof Tjip kemudian telah
membuka keterbelengguan kita, paradigma bahwa hukum diciptakan untuk manusia
dan bukan sebaliknya. Sehingga jika undang-undang menghalangi tercapainya
keadilan maka harus ada keberanian untuk menerobos kekakuan undang-undang
tersebut guna tercapainya keadilan.
Brigjen Pol. Rasyid Ridho sebagai pembicara dalam sebuah seminar yang digagas
Polda Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro mengenai Diskresi di akhir 2008
pernah menyampaikan permasalahan polisi dalam melaksanakan diskresi. Seringkali
terjadi korban mencabut laporannya, jika tindak pidananya merupakan delik aduan
(klacht delicten) maka tidak ada masalah, perkara bisa dihentikan karena
pengaduannya dicabut. Namun polisi kemudian dibenturkan pada persoalan jika
laporan yang dicabut merupakan delik biasa (gewone delicten), kerangka sistem
peradilan pidana (criminal justice system) mengharuskan perkaranya berlanjut
dalam koridor litigasi sekalipun terjadi pencabutan laporan. Mengenai kondisi
ini, menurut Rasyid Ridho tidak ada kesamaan polisi dalam menentukan sikap ada
yang bersikukuh normatif yuridis, ada juga yang tidak terlalu kaku dengan
mencoba melihat kasus tersebut dengan spektrum yang lebih luas seperti asas
manfaat dan dampak yang timbul dari berbagai pihak jika diteruskan dengan
proses litigasi.
Diskresi sebenarnya hanya sebuah koma, belum menjadi titik. Polisi yang
melakukan diskresi sebaiknya juga memfasilitasi terjadinya diversi dalam
kerangka restoratif justice, dimana dipertemukannya korban, pelaku, dan para
pihak yang terkena dampak tindak pidana untuk duduk bersama dalam rangka
merumuskan solusi pemulihan atas tindak pidana yang telah terjadi.
Pada akhirnya, keputusan untuk melakukan diskresi berada di tangan polisi.
Namun bagaimanapun, diskresi memiliki kelemahan diantaranya penyalahgunaan
kekuasaan. Oleh karena itu menjadi penegak hukum progesif tidak hanya
dibutuhkan keberanian, tapi juga hati nurani.
*Tulisan lama dibuat Maret 2010, jelang lulus S2, ditemukan di linimasa FB dalam sebuah notes FB. Fitur Notes FB nampaknya dihapus, padahal banyak tulisan monumental, termasuk catatan lahirnya Mushab Alif Fathurokhman
No comments:
Post a Comment