Jika dalam fakta persidangan jaksa menemukan keyakinan dalam fakta persidangan bahwa terdapat kondisi yg 'dilukiskan' (meminjam istilah Prof Soedarto) dalam Pasal 44 KUHP, apakah jaksa dpt menuntut terdakwa menggunakan Pasal 44, agar terdakwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa?
Jawabannya tidak dan ya, bergantung pada mazhab yang dipakai.
Tidak, jika menggunakan mazhab positivist. Kenapa? Karena Pasal 44 telah dikunci 'milik' hakim, ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (3) KUHP. Positivism tidak dibenarkan keluar dari apa yg digariskan undang undang. Law is a law, hukumnya begitu ya begitu. Hukum adalah undang undang.
Ya, jika menggunakan pendekatan hukum progresif. Kenapa? Karena hukum progresif memandang hukum lebih luas tidak sekadar undang undang. Undang undang hanyalah alat untuk menegakan hukum. Demikian hukum pidana, harus bisa melihat lebih jauh dari sekadar memenjarakan orang. Hukum pidana harus bisa memandang jauh ke depan kepada tujuannya yang salah satunya adalah penyelesai konflik. Apakah konfliknya selesai dengan dipidananya terdakwa? Ataukah ada cara yang lebih baik dalam menyelesaikan konfliknya, dengan memasukan terdakwa ke rumah sakit jiwa misalnya. Meski demikian, sebagaimana penggagas hukum progresif alm Prof Tjip pernah tulis, hukum progresif adalah hukum yang didasari hati nurani. Namun dalam catatan saya, hukum progresif tidak hanya membutuhlan nurani, tapi juga keberanian u menegakkannya, yg akan mewujudkan karakteristik lainnya, breaking the law. Sebab undang undang hanya alat untuk menuju tujuan hukum, kalau justru menghalangi, feel free to break it.
(Tulisan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akademik, atas kegagalan sy dlm memahami pertanyaan yg diajukan, misunderstood the question, dibuat tidak spesifik agar bisa berlaku secara umum)
Klinik Jannah Kebon Jahe Serang,, 19 Feb2019, bertepatan dg 13 tahun pernikahan
Jawabannya tidak dan ya, bergantung pada mazhab yang dipakai.
Tidak, jika menggunakan mazhab positivist. Kenapa? Karena Pasal 44 telah dikunci 'milik' hakim, ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (3) KUHP. Positivism tidak dibenarkan keluar dari apa yg digariskan undang undang. Law is a law, hukumnya begitu ya begitu. Hukum adalah undang undang.
Ya, jika menggunakan pendekatan hukum progresif. Kenapa? Karena hukum progresif memandang hukum lebih luas tidak sekadar undang undang. Undang undang hanyalah alat untuk menegakan hukum. Demikian hukum pidana, harus bisa melihat lebih jauh dari sekadar memenjarakan orang. Hukum pidana harus bisa memandang jauh ke depan kepada tujuannya yang salah satunya adalah penyelesai konflik. Apakah konfliknya selesai dengan dipidananya terdakwa? Ataukah ada cara yang lebih baik dalam menyelesaikan konfliknya, dengan memasukan terdakwa ke rumah sakit jiwa misalnya. Meski demikian, sebagaimana penggagas hukum progresif alm Prof Tjip pernah tulis, hukum progresif adalah hukum yang didasari hati nurani. Namun dalam catatan saya, hukum progresif tidak hanya membutuhlan nurani, tapi juga keberanian u menegakkannya, yg akan mewujudkan karakteristik lainnya, breaking the law. Sebab undang undang hanya alat untuk menuju tujuan hukum, kalau justru menghalangi, feel free to break it.
(Tulisan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akademik, atas kegagalan sy dlm memahami pertanyaan yg diajukan, misunderstood the question, dibuat tidak spesifik agar bisa berlaku secara umum)
Klinik Jannah Kebon Jahe Serang,, 19 Feb2019, bertepatan dg 13 tahun pernikahan
No comments:
Post a Comment