(Dilarang mengopi untuk diklaim sebagai tulisan sendiri)
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh
segerombol petugas kebersihan di sebuah taman kanak-kanak berstandar internasional
yang dengan keji melakukan kejahatan kelamin atas seorang bocah berusia lima
tahun (beberapa sumber lain menulis enam tahun). Kejahatan kelamin yang saya
maksud dalam tulisan ini adalah kejahatan yang meliputi seluruh kejahatan
seksual, mulai pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Istilah kejahatan kelamin
dalam tulisan ini merupakan terjemahan dari sex crime yang tereduksi
makna kebiadabannya jika diterjemahkan sebagai kejahatan seksual karena terlalu
umumnya istilah ini digunakan. Berdasarkan ini, maka pelakunya pun lebih pantas
dinamakan sebagai penjahat kelamin.
Emosi kita kembali diaduk-aduk atas
kegilaan para penjahat kelamin ini, khususnya para paedofil. Emosi itu
tergambar dari pemberitaan, perbincangan
sosial media, hingga obrolan langsung. Mulai dari yang mengutuk,
membantu memberikan solusi dengan mendesak penyidik agar menggunakan
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA),
mengenalkan upaya-upaya preventif yang bisa dilakukan orang tua seperti
pengenalan underwear rule pada anak yang intinya memberikan pemahaman
kepada anak tentang hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dirinya terkait
dengan potensi kejahatan kelamin, hingga mengajukan petisi melalui sebuah website
untuk merevisi UUPA agar memiliki ancaman hukuman yang lebih berat .
Kasus
ini menjadi penting dikaji dengan serius mengingat pengulangan atas jenis
kejahatan kelamin kerap terjadi. Telusurilah dunia maya dan anda akan menemukan
betapa banyaknya kasus-kasus kejahatan kelamin di negeri ini di berbagai
daerah, termasuk kasus Siswanto (Robot Gedek) di tahun 1996 dan Baekuni (Babe)
di tahun 2010. Celakanya, data yang ada pada saya mengungkapkan bahwa pelaku
kejahatan kelamin ini tak hanya dilakukan orang dewasa. Dalam kesempatan wawancara dan data yang saya
dapatkan dari Gusti Ayu Suwardani, Kasubdit
Perlindungan dan Pengentasan Anak Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan
Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, angka kejahatan kelamin di Indonesia
per Agustus 2012 yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku menempati urutan
pertama tertinggi (262 kasus), disusul dengan pencurian (125 kasus) dan narkoba
(93 kasus) di urutan ketiga.
Data
singkat di atas menggambarkan betapa seriusnya kasus ini dan bahwa hampir tak
ada tempat aman untuk anak, bahkan taman kanak-kanak, taman yang paling indah,
menjadi tempat kejadian perkara terkini. Kasus ini bisa
dikaji dari berbagai aspek, tapi dalam hal ini saya akan batasi pada kajian
hukum yang mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk kita terapkan ke depannya. Yang
jelas, nampaknya perumus asas legalitas, Paul Johann Anselm Fuerbach nampaknya
telah gagal meramalkan ajaran psychologische zwang (paksaan psikis). Ia
menyarankan agar hukum dituliskan sehingga ada kepastian hukum dan orang bisa
melihat hukuman apa yang diterima bila
suatu perbuatan pidana dilakukan, dengan demikian orang akan menghindari
perbuatan pidana tersebut. Ajaran ini nampaknya kandas di Indonesia, khususnya
bagi para paedofil. Menghilangkan kejahatan seratus persen adalah memang hal
yang mustahil, tapi maraknya angka kejahatan—dalam hal ini kejahatan
kelamin—menandakan ada masalah pada negara tersebut. Salah satu kecurigaannya
adalah negara, melalui hukum, gagal memberikan efek jera pada pelaku juga orang
lain yang berpotensi menjadi pelaku.
Efek Jera
Tentu
fenomena kegagalan hukum di Indonesia bisa diteliti dari berbagai hal, namun
yang jelas efek jera dari hukuman yang pernah dijatuhkan nampaknya tak membekas
pada kandidat penjahat kelamin, pada titik inilah tulisan ini dimaksudkan.
Sebagai negara mayoritas muslim terbesar di
dunia, penggunaan hukum pidana Islam sebenarnya lebih masuk akal. Apalagi dari
sisi sejarah, terdapat bukti-bukti akademis bahwa hukum pidana Islam pernah
berlaku sebelum hukum Eropa datang dan
menggantikannya (lihat misalnya disertasi Dinar Boontarm, University of Hull,
United Kingdom yang mengkaji hukum pidana Islam di era Kesultanan Banten).
Dalam hukum pidana Islam, kejahatan kelamin telah diatur jelas, termasuk
berbagai cabang penyimpangannya dari sodomi (liwath)hingga menyetubuhi
mayat atau nekrofili—sebagaimana yang dilakukan Robot Gedek pada beberapa
korbannya—telah dikaji oleh para ahli fiqih. Pada dasarnya hukuman bagi
para penjahat kelamin adalah dicambuk seratus kali hingga hukuman mati tergantung
pada status penjahat kelamin apakah belum kawin (ghair muhshon) ataukah
sudah kawin (muhshon). Tapi persoalannya kualitas keIslaman kita masih
perlu diuji, banyaknya muslim di Indonesia masih seperti buih di lautan dengan
kualitas seadanya.
Maka sementara mungkin kita bisa melihat
bersama bagaimana Amerika Serikat menangani para penjahat kelamin. Ini bukan
berarti hukum di Amerika sempurna, konflik kepentingan dalam penegakan hukum di
sana juga terjadi, misalnya ini terjadi pada dua gugatan bangsa Indonesia
terhadap Freeport melalui Alien Tort Statute di Amerika yang dimentahkan
dan tidak dikabulkan, padahal bukti-bukti pelanggaran HAM telah
disodorkan. Tapi dalam hal penanganan
penjahat kelamin, hukum Amerika layak untuk dikaji.
Megan’s Law adalah
undang-undang federal yang disahkan kongres pada 1996 yang menjadi dasar
dimuatnya data para penjahat kelamin yang dapat diakses oleh warga.
Undang-undang ini dipicu oleh sebuah kejadian tragis di New Jersey. Megan
Kanka, gadis kecil tujuh tahun yang diperkosa dan dibunuh oleh tetangganya
sendiri. Belakangan diketahui bahwa pelakunya punya catatan criminal atas
kejahatan kelamin. Dari peristiwa ini muncul kesadaran bahwa sekiranya mereka
diberitahu bahwa ada mantan penjahat kelamin di lingkungan mereka, tentu mereka
akan lebih waspada. Pada tahun 1994, parlemen New Jersey mengesahkan Megan’s
Law dan sejak menjadi undang-undang federal di tahun 1996, kini seluruh
negara bagian di Amerika Serikat telah mengesahkan Megan’s Law. Dengan Megan’s
Law para penjahat kelamin teregistrasi dan dapat diakses di tiap negara
bagian melaui website Federal Bureau of Investigation (http://www.fbi.gov/) pada kanal scams and
safety atau melaui website otoritas negara bagian masing-masing.
Megan’s Law
efektif bekerja paska pemidanaan. Para penjahat kelamin yang selesai menjalani
hukuman diregistrasi sehingga keberadaanya selalu diketahui dan dimuat dalam website.
Dengan demikian warga bisa memeriksa tetangga barunya apakah ia mantan penjahat
kelamin atau bukan. Dalam konteks efek jera, Megan’s Law membuat calon
pelaku kejahatan kelamin berpikir berulangkali untuk melakukan perbuatan
biadabnya, sebab namanya akan terabadikan meskipun ia telah selesai menjalani
hukuman dan berpindah ke tempat lain, informasi keberadaan mengenai dirinya
akan terus mengikuti dimanapun ia berada. Tiap negara bagian di Amerika Serikat
memiliki detail aturan dan prosedur pengaksesan informasi yang berbeda-beda
atas Megan’s Law yang diberlakukan. Potensi penyalahgunaan informasi
juga diatur, sehingga orang yang menyalahgunakan informasi data penjahat
kelamin untuk pemerasan misalnya, telah diatur sebagai perbuatan yang dapat
dipidana.
Sisi lain Megan’s Law
Tentu pada sisi korban, Megan’s Law
baik diterapkan untuk melindungi anak-anak dari potensi pengulangan kejahatan
kelamin. Tapi dalam konteks hukum pidana, ini menjadi paradoks, mengingat salah
satu tujuan pemidanaan adalah merehabilitasi pelaku kejahatan sehingga ke
depannya ia bisa kembali diterima di masyarakat. Tanpa Megan’s Law
sebenarnya stigmatisasi atas mantan narapidana sudah terjadi di masyarakat,
tapi ini bisa dihindari oleh mantan narapidana dengan cara pindah ke lain daerah
tinggalnya. Dengan Megan’s Law stigma
ini menjadi permanen, ‘dilegalkan’, dan selalu up to date
menginformasikan keberadaan terkini mantan penjahat kelamin. Ini membuat
penjahat kelamin yang benar-benar ingin tobat harus ‘ikhlas’ menjadi orang yang
selalu dicurigai. Megan’s Law juga memiliki kelemahan sebagaimana
dituliskan sebelumnya, ia efektif bekerja paska pemidanaan dan tidak dirancang
untuk mendeteksi penjahat kelamin perdana (first-time sex offender). Ini
artinya anak-anak tetap terancam kejahatan kelamin para homoseksual penjahat
kelamin seperti yang terjadi di Taman Kanak-kanak JIS.
Jika memang kita serius menangani para
penjahat kelamin dan keamanan anak-anak kita, undang-undang semacam Megan’s
Law nampaknya layak untuk dikaji dan dipertimbangkan. Tentu akan banyak
pertimbangan dan detail yang harus dibahas di dalamnya, mengingat Megan’s
Law di tiap negara bagian di Amerika pun berbeda-beda pada tataran
teknisnya.
Mungkin saatnya kita harus memberi
perhatian lebih dalam menangani penjahat kelamin di negeri ini. Anak-anak yang
menjadi korban telah direnggut masa depannya, tak perlulah saya tuliskan ulang
bagaimana kejinya para penjahat kelamin itu memperlakukan korbannya, juga
trauma pada anak yang membuat pilu. Hal yang harus disadari bersama adalah kejahatan
kelamin berpotensi menimpa siapa saja sehingga kita tak bisa lagi hanya duduk
di sofa menonton berita sore tentang penjahat kelamin, menikmati kudapan sambil
bergumam kasihan. Ia tak pandang anak berada atau tak punya, anak sekolahan
atau jalanan. Tidak ada yang akan menyangka bahwa seseorang akan menjadi korban
dari kejahatan biadab ini. Semoga ke depan ditemukan solusi yang lebih baik
lagi dalam menekan para penjahat kelamin, tanpa harus menunggu berjatuhannya
korban. Megan’s Law mungkin layak untuk dipertimbangkan dalam rangka
menyelamatkan anak dan menekan para penjahat kelamin.
(Kanazawa, 21 April 2014)
No comments:
Post a Comment