Pertemuan
kami terjadi begitu saja. Saat saya dan Satish sama-sama menjadi perserta konferensi
ke-5 masyarakat kriminologi asia di Mumbai, India. Pagi hari saya ke luar kamar
ingin melihat geliat Mumbai di pagi hari. Kami menginap di asrama mahasiswa
TISS (Tata Institute Social Science). Di area kampus menuju keluar itulah
pertama ali saya melihat Satish dan berkenalan, rupanya Ia memiliki ide yang
sama. Ia datang dari luar kota Mumbai. Setiap kota punya citranya
masing-masing. “Mumbai means business, Delhi means politic,” jelasnya. Kami
mampir ke pasar dekat stasiun kereta. Pasar dan stasiunnya mirip sekali dengan
pasar-pasar dan stasiun kereta di Indonesia pada umumnya. Pasar selalu eksotis di
pagi hari, geliat kota di mulai dari sini, penjual kelapa muda, koran, teh susu
memulai harinya. Satish mentraktir saya kelapa muda, teh susu dan samosa,
semacam gorengan khas India. Keramahan sebagai tuan rumah ini mengingatkan saya
pada kebanyakan orang Indonesia.
Salah
satu must-visit place dalam daftar saya adalah Haji Ali Road Mumbai. Satish
juga punya daftar wajib kunjung, Gateway of India atau Mumbai Gateway. Haji Ali
Road tak jauh dari Gateway of India. Gateway of India adalah sebuah monumen
gerbang yang dibangun untuk memperingati kunjungan Raja George V dan Ratu Mary
saat mengunjungi India 1911. Di tempat ini kita bisa naik perahu untuk
menikmati suasana pelabuhan. Setelah naik perahu itulah, saya dan Satish
terlibat diskusi menarik tentang visinya, tentang Islam, juga konflik antara
India dan Pakistan.
Islam adalah minoritas di India. Populasinya sekitar 15% dari total populasi
1,2 milyar penduduk, versi Priya, seorang kawan India, versi Wikipedia 13,4%. Konflik
horizontal kerap terjadi, seorang pengacara India yang juga pegiat LSM,
menceritakan kasus 15 pembunuhan muslim yang “di-peti es-kan” . Darinya juga
saya tahu bahwa Komisi HAM di India tak memiliki hak menyelidik dan menyidik
sebagaimana di Indonesia. 2008 terjadi pengeboman yang dilakukan Muslim di
beberapa titik di Mumbai, salah satunya di Hotel Taj Mahal, bersebelahan dengan Mumbai Gateway.
Saat
saya di sana 2013, sensitifitas hubungan muslim dan hindu masih terasa. Satish
menyeret saya saat berlama-lama mengambil foto di stasiun Mumbai dan berakhir
dengan sebuah obrolan satu jam di pelataran Mumbai Gateway.
“Pengebom
itu berasal dari Pakistan, awalnya mereka meyangkal, tapi lalu bisa dibuktikan
bahwa benar dari Pakistan,” paparnya. Menurut Satish banyak perbedaan yang bersebrangan
antara Hindu dan Islam yang semakin membuat jarak diantara keduanya. Misalnya
orang Hindu makan babi orang Islam tidak, Orang Hindu mensakralkan sapi, orang
Islam makan sapi. Menulis dari kiri ke kanan, sementara orang Islam kanan ke
kiri. “Saya tahu yang terakhir tidak berdampak apa-apa tapi sejak ini juga
berbeda jadi semakin menambah “daftar perbedaan”,” jelasnya.
Dari
Hindu-Islam obrolan berlanjut ke masalah populasi di India, tentang pandangan
hidupnya. Satish bercita-cita membahagiakan, menampung, menyukseskan anak-anak India. Ini selaras
dengan studi yang ia ambil memang, social work. Anak banyak tapi tak
berkualitas bukanlah hal yang baik. Ini berbeda dengan pandangan saya, bukankah
lebih baik jika banyak anak dan berkualitas? Kami berdebat panjang soal ini.
“Ada
posisi dimana sifat manusia bisa dekat dengan sifat Dewa, it seems that I
confuse you?” tanyanya di akhir penjelasan panjang lebarnya.
“I like
to be confused, saya mengerti, tapi manusia perlu keseimbangan,” jawab saya.
Saya
belajar banyak tentang bagaimana orang memandang Islam dari sisi seorang kawan Hindu
hari itu. Lebih banyak mendengar daripada bicara. Tentu saja, sebagaimana umum
terjadi miskonsepsi ada di sana-sini. Saya tentu saja berharap Satish merasakan
keindahan, keseimbangan dalam Islam sebagaimana yang saya rasakan, sebagaimana
juga mungkin Satish berharap yang sama pada saya. Tapi saya tahu agama dan hidayah bukanlah sesuatu
yang bisa dipaksakan. Sebagaimana dituliskan dalam AlBaqarah 256 “ Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” “There shall be no compulsion in (acceptance of) the religion. The
right course has become clear form the wrong. So whoever disbelieves in Taghut
and believes in Allah has grasped the most trustworthy handhold woth no break
in it. And Allah is hearing and knowing.”
Tak
terasa waktu Magrib hampir lewat, saya
diantar Satish menuju Haji Ali Road untuk mencari masjid dan sholat di sana.
No comments:
Post a Comment