Saya sekarang akan menulis pendek-pendek saja. Demikian juga untuk tulisan ini, sebab biasanya terlalu banyak yang ingin diceritakan hingga berakhir jadi tulisan panjang. Jadi lebih baik saya pecah ke beberapa tulisan, baiklah akan saya coba, saya mulai ya.
Saya sepertinya mulai sedikit sadar bahwa jangan-jangan cobaan saya ini ada di nikmat yang selalu diberikan dengan mudah. Tahun ini dua kali saya mengunjungi negara di luar Jepang: India dan Brazil.
Saat ke India saya menggunakan uang sendiri yang disisihkan dari beasiswa yang diterima, karena biaya tiket dan sebagainya masih bisa dihitung. Tapi untuk ke Brazil saya harus berfikir beberapa kali saat abstrak saya diterima. Bukan apa-apa, tiketnya terlalu mahal, hampir 30 juta rupiah, belum hotel dan makan. Jadi saya kubur mimpi konferensi di Brazil dan merelakan rugi uang pendaftaran yang hampir dua juta rupiah. Hingga kemudian suatu sore supervisor saya mengabari ada dana dari pemerintah Jepang untuk mahasiswa S3 di ilmu sosial di Kanazawa University sebanyak 17 juta yen, sekitar 1,7 milyar rupiah yang bisa dipakai hingga akhir Maret 2014. Kamu bisa berangkat konferensi kalau mau. Ya jelas maulah. Uang pendaftaran bahkan direncanakan diganti dari alokasi dana tadi. Saya juga sepertinya harus berterima kasih pada pak Maman rekan Untirta yang sekolah di Aussie yang mendorong untuk mengirim abstrak di malam terakhir deadline disaat saya bimbang karena khawatir tak bisa berangkat dan hanya buang uang.
Konferensi di Brazil adalah konferensi/kongres dunia di bidang filsafat hukum dan sosial yang diadakan dua tahun sekali. Sebelumnya diadakan di Frankfurt Jerman, dan 2015 nanti akan diadakan di Washington D.C, Amerika.
Konferensi ini dihadiri 900an peserta dari 57 negara. Setengah pesertanya dari Brazil, ada beberapa dari Jepang, Polandia, Jerman, Italia dll. Pada umumnya negara-negara tersebut tak sungkan mengeluarkan uang untuk delegasi-delegasi negaranya. Saya contohkan Jepang saja yang saya tahu. Para dosen di tempat saya kuliah biasa bepergian ke luar negeri untuk sebuah konferensi atau proyek penelitian. Penelitiannya sederhana dengan laporan yang juga sederhana. Misalnya meneliti negara-negara Asia selain Jepang tentang metode Bahasa Inggris yang dipakai (Pemerintah Jepang menilai Bahasa Inggris orang Jepang tak sebagus negara asia lainnya).
Nah bagaimana dengan Indonesia? Saya ceritakan satu pengalaman. Adalah Guswandi (maaf nih sob saya jadikan contoh), dosen Untirta, abstrak papernya diterima di Perancis. Abstraknya keren, tentang dominasi jawara Banten dalam penguasan lini ekonomi di Banten. Maka berjuanglah Ia mencari dana, saya menemani di level Untirta. Dikti punya skema pembiayaan model ini memang, dan draft kontraknya sudah ada antara Dikti dengannya untuk ke Paris yang sudah ia pegang, sebanyak 36 juta rupiah tertera. Singkat cerita Ia tak jadi berangkat karena waktunya tidak tepat, antara uang dan keberangkatan tidak sinkron. Aturannya tak fleksibel. Kampuspun tak bisa bantu. Pada akhirnya Guswandi tetap ke Prancis. Bukan untuk sebuah konferensi. Ia kuliah disana S2 dan lanjut S3.
Melihat dunia luar sangat penting untuk sebuah perbandingan. Kalau ingin maju hendaklah berangkatkan dan mudahkan para generasi bangsa ini untuk ke luar Indonesia. Adalah Habibie yang bicara begini di jajaran direksi Garuda Indonesia saat berterima kasih karena Garuda secara khusus menjemput jasad almarhumah Ainun: "Dik, yang hebat itu Soekarno, Soeharto hanya meneruskan, Soekarno punya visi yang jauh ke depan agar negara ini maju dan mandiri bisa membuat pesawat sendiri, maka disekolahkanlah putra putri Indonesia, saya adalah angkatan kedua yang diberangkatkan." (Note: kalimatnya tidak persis seperti itu, hanya berdasarkan ingatan, silahkan merujuk ke tulisan aslinya). Jadi Soekarno dulu sudah punya mimpi, dan di 1995 mimpi itu baru terwujud, pesawat pertama asli buatan kita mengangkasa yang kemudian 'dipaksa mendarat' oleh IMF (lebih lanjut baca "Antara Jepang, Habibi, dan Ainun" di blog ini (atau di catatan muka buku, saya lupa)).
Jadi begitulah, mudahkanlah jalan bagi para pendidik negeri ini untuk ke luar negeri. Apa-apa yang dipaparkan di konferensi luar tidak lebih hebat dari analisa para pengajar yang saya temukan di jurnal-jurnal Indonesia, hanya kesempatan saja yang membedakan. Jika saja para tenaga pendidik di Indonesia dimudahkan mendapatkan dana konferensi luar negeri, saya yakin kita, Indonesia, bisa lebih keren lagi.
Saya sudahi. Ini tulisannya agak kurang asyik. Tapi daripada tak ada tulisan lebih baik ada. Tulisan yang baik itu adalah tulisan yang selesai ditulis.
Belo Horizonte. 25/07/2013
Saya sepertinya mulai sedikit sadar bahwa jangan-jangan cobaan saya ini ada di nikmat yang selalu diberikan dengan mudah. Tahun ini dua kali saya mengunjungi negara di luar Jepang: India dan Brazil.
Saat ke India saya menggunakan uang sendiri yang disisihkan dari beasiswa yang diterima, karena biaya tiket dan sebagainya masih bisa dihitung. Tapi untuk ke Brazil saya harus berfikir beberapa kali saat abstrak saya diterima. Bukan apa-apa, tiketnya terlalu mahal, hampir 30 juta rupiah, belum hotel dan makan. Jadi saya kubur mimpi konferensi di Brazil dan merelakan rugi uang pendaftaran yang hampir dua juta rupiah. Hingga kemudian suatu sore supervisor saya mengabari ada dana dari pemerintah Jepang untuk mahasiswa S3 di ilmu sosial di Kanazawa University sebanyak 17 juta yen, sekitar 1,7 milyar rupiah yang bisa dipakai hingga akhir Maret 2014. Kamu bisa berangkat konferensi kalau mau. Ya jelas maulah. Uang pendaftaran bahkan direncanakan diganti dari alokasi dana tadi. Saya juga sepertinya harus berterima kasih pada pak Maman rekan Untirta yang sekolah di Aussie yang mendorong untuk mengirim abstrak di malam terakhir deadline disaat saya bimbang karena khawatir tak bisa berangkat dan hanya buang uang.
Konferensi di Brazil adalah konferensi/kongres dunia di bidang filsafat hukum dan sosial yang diadakan dua tahun sekali. Sebelumnya diadakan di Frankfurt Jerman, dan 2015 nanti akan diadakan di Washington D.C, Amerika.
Konferensi ini dihadiri 900an peserta dari 57 negara. Setengah pesertanya dari Brazil, ada beberapa dari Jepang, Polandia, Jerman, Italia dll. Pada umumnya negara-negara tersebut tak sungkan mengeluarkan uang untuk delegasi-delegasi negaranya. Saya contohkan Jepang saja yang saya tahu. Para dosen di tempat saya kuliah biasa bepergian ke luar negeri untuk sebuah konferensi atau proyek penelitian. Penelitiannya sederhana dengan laporan yang juga sederhana. Misalnya meneliti negara-negara Asia selain Jepang tentang metode Bahasa Inggris yang dipakai (Pemerintah Jepang menilai Bahasa Inggris orang Jepang tak sebagus negara asia lainnya).
Nah bagaimana dengan Indonesia? Saya ceritakan satu pengalaman. Adalah Guswandi (maaf nih sob saya jadikan contoh), dosen Untirta, abstrak papernya diterima di Perancis. Abstraknya keren, tentang dominasi jawara Banten dalam penguasan lini ekonomi di Banten. Maka berjuanglah Ia mencari dana, saya menemani di level Untirta. Dikti punya skema pembiayaan model ini memang, dan draft kontraknya sudah ada antara Dikti dengannya untuk ke Paris yang sudah ia pegang, sebanyak 36 juta rupiah tertera. Singkat cerita Ia tak jadi berangkat karena waktunya tidak tepat, antara uang dan keberangkatan tidak sinkron. Aturannya tak fleksibel. Kampuspun tak bisa bantu. Pada akhirnya Guswandi tetap ke Prancis. Bukan untuk sebuah konferensi. Ia kuliah disana S2 dan lanjut S3.
Melihat dunia luar sangat penting untuk sebuah perbandingan. Kalau ingin maju hendaklah berangkatkan dan mudahkan para generasi bangsa ini untuk ke luar Indonesia. Adalah Habibie yang bicara begini di jajaran direksi Garuda Indonesia saat berterima kasih karena Garuda secara khusus menjemput jasad almarhumah Ainun: "Dik, yang hebat itu Soekarno, Soeharto hanya meneruskan, Soekarno punya visi yang jauh ke depan agar negara ini maju dan mandiri bisa membuat pesawat sendiri, maka disekolahkanlah putra putri Indonesia, saya adalah angkatan kedua yang diberangkatkan." (Note: kalimatnya tidak persis seperti itu, hanya berdasarkan ingatan, silahkan merujuk ke tulisan aslinya). Jadi Soekarno dulu sudah punya mimpi, dan di 1995 mimpi itu baru terwujud, pesawat pertama asli buatan kita mengangkasa yang kemudian 'dipaksa mendarat' oleh IMF (lebih lanjut baca "Antara Jepang, Habibi, dan Ainun" di blog ini (atau di catatan muka buku, saya lupa)).
Jadi begitulah, mudahkanlah jalan bagi para pendidik negeri ini untuk ke luar negeri. Apa-apa yang dipaparkan di konferensi luar tidak lebih hebat dari analisa para pengajar yang saya temukan di jurnal-jurnal Indonesia, hanya kesempatan saja yang membedakan. Jika saja para tenaga pendidik di Indonesia dimudahkan mendapatkan dana konferensi luar negeri, saya yakin kita, Indonesia, bisa lebih keren lagi.
Saya sudahi. Ini tulisannya agak kurang asyik. Tapi daripada tak ada tulisan lebih baik ada. Tulisan yang baik itu adalah tulisan yang selesai ditulis.
Belo Horizonte. 25/07/2013
2 comments:
Semoga mendapatkan ilmu dan pengalaman yang berharga brother :)
aduhhh aku bangga punya keluarga yang berhasil seperti Om Ferry..terus berjuang ya Omm..harumkan nama keluarga bangsa dan negara
Post a Comment