Letaknya di pinggir kota Belo Horizonte, naik taksi sekitar 20-25 Riais, ada bis juga sih ke dekat tempat ini bis nomor 4108 (atau 4103? lupa). Sayang terkunci, tak bisa masuk. Terletak di sebuah lokasi perumahan elit. Satpam daerah tersebut mengatakan sesuatu dalam bahasa Potugis, yang sepertinya bermakna bahwa jarang ada yang datang ke Islamic Center. Muslim di Brazil kurang dari 1 %, tak banyak informasi yang bisa didapat.
Sebuah kumpulan tulisan, puisi, cerita, foto, atau apa sajalah tentang saya, orang lain dan negeri ini.
Wednesday, July 31, 2013
Thursday, July 25, 2013
Jika Saja Para Tenaga Pendidik di Indonesia Dimudahkan Mendapatkan Dana Konferensi Luar Negeri
Saya sekarang akan menulis pendek-pendek saja. Demikian juga untuk tulisan ini, sebab biasanya terlalu banyak yang ingin diceritakan hingga berakhir jadi tulisan panjang. Jadi lebih baik saya pecah ke beberapa tulisan, baiklah akan saya coba, saya mulai ya.
Saya sepertinya mulai sedikit sadar bahwa jangan-jangan cobaan saya ini ada di nikmat yang selalu diberikan dengan mudah. Tahun ini dua kali saya mengunjungi negara di luar Jepang: India dan Brazil.
Saat ke India saya menggunakan uang sendiri yang disisihkan dari beasiswa yang diterima, karena biaya tiket dan sebagainya masih bisa dihitung. Tapi untuk ke Brazil saya harus berfikir beberapa kali saat abstrak saya diterima. Bukan apa-apa, tiketnya terlalu mahal, hampir 30 juta rupiah, belum hotel dan makan. Jadi saya kubur mimpi konferensi di Brazil dan merelakan rugi uang pendaftaran yang hampir dua juta rupiah. Hingga kemudian suatu sore supervisor saya mengabari ada dana dari pemerintah Jepang untuk mahasiswa S3 di ilmu sosial di Kanazawa University sebanyak 17 juta yen, sekitar 1,7 milyar rupiah yang bisa dipakai hingga akhir Maret 2014. Kamu bisa berangkat konferensi kalau mau. Ya jelas maulah. Uang pendaftaran bahkan direncanakan diganti dari alokasi dana tadi. Saya juga sepertinya harus berterima kasih pada pak Maman rekan Untirta yang sekolah di Aussie yang mendorong untuk mengirim abstrak di malam terakhir deadline disaat saya bimbang karena khawatir tak bisa berangkat dan hanya buang uang.
Konferensi di Brazil adalah konferensi/kongres dunia di bidang filsafat hukum dan sosial yang diadakan dua tahun sekali. Sebelumnya diadakan di Frankfurt Jerman, dan 2015 nanti akan diadakan di Washington D.C, Amerika.
Konferensi ini dihadiri 900an peserta dari 57 negara. Setengah pesertanya dari Brazil, ada beberapa dari Jepang, Polandia, Jerman, Italia dll. Pada umumnya negara-negara tersebut tak sungkan mengeluarkan uang untuk delegasi-delegasi negaranya. Saya contohkan Jepang saja yang saya tahu. Para dosen di tempat saya kuliah biasa bepergian ke luar negeri untuk sebuah konferensi atau proyek penelitian. Penelitiannya sederhana dengan laporan yang juga sederhana. Misalnya meneliti negara-negara Asia selain Jepang tentang metode Bahasa Inggris yang dipakai (Pemerintah Jepang menilai Bahasa Inggris orang Jepang tak sebagus negara asia lainnya).
Nah bagaimana dengan Indonesia? Saya ceritakan satu pengalaman. Adalah Guswandi (maaf nih sob saya jadikan contoh), dosen Untirta, abstrak papernya diterima di Perancis. Abstraknya keren, tentang dominasi jawara Banten dalam penguasan lini ekonomi di Banten. Maka berjuanglah Ia mencari dana, saya menemani di level Untirta. Dikti punya skema pembiayaan model ini memang, dan draft kontraknya sudah ada antara Dikti dengannya untuk ke Paris yang sudah ia pegang, sebanyak 36 juta rupiah tertera. Singkat cerita Ia tak jadi berangkat karena waktunya tidak tepat, antara uang dan keberangkatan tidak sinkron. Aturannya tak fleksibel. Kampuspun tak bisa bantu. Pada akhirnya Guswandi tetap ke Prancis. Bukan untuk sebuah konferensi. Ia kuliah disana S2 dan lanjut S3.
Melihat dunia luar sangat penting untuk sebuah perbandingan. Kalau ingin maju hendaklah berangkatkan dan mudahkan para generasi bangsa ini untuk ke luar Indonesia. Adalah Habibie yang bicara begini di jajaran direksi Garuda Indonesia saat berterima kasih karena Garuda secara khusus menjemput jasad almarhumah Ainun: "Dik, yang hebat itu Soekarno, Soeharto hanya meneruskan, Soekarno punya visi yang jauh ke depan agar negara ini maju dan mandiri bisa membuat pesawat sendiri, maka disekolahkanlah putra putri Indonesia, saya adalah angkatan kedua yang diberangkatkan." (Note: kalimatnya tidak persis seperti itu, hanya berdasarkan ingatan, silahkan merujuk ke tulisan aslinya). Jadi Soekarno dulu sudah punya mimpi, dan di 1995 mimpi itu baru terwujud, pesawat pertama asli buatan kita mengangkasa yang kemudian 'dipaksa mendarat' oleh IMF (lebih lanjut baca "Antara Jepang, Habibi, dan Ainun" di blog ini (atau di catatan muka buku, saya lupa)).
Jadi begitulah, mudahkanlah jalan bagi para pendidik negeri ini untuk ke luar negeri. Apa-apa yang dipaparkan di konferensi luar tidak lebih hebat dari analisa para pengajar yang saya temukan di jurnal-jurnal Indonesia, hanya kesempatan saja yang membedakan. Jika saja para tenaga pendidik di Indonesia dimudahkan mendapatkan dana konferensi luar negeri, saya yakin kita, Indonesia, bisa lebih keren lagi.
Saya sudahi. Ini tulisannya agak kurang asyik. Tapi daripada tak ada tulisan lebih baik ada. Tulisan yang baik itu adalah tulisan yang selesai ditulis.
Belo Horizonte. 25/07/2013
Saya sepertinya mulai sedikit sadar bahwa jangan-jangan cobaan saya ini ada di nikmat yang selalu diberikan dengan mudah. Tahun ini dua kali saya mengunjungi negara di luar Jepang: India dan Brazil.
Saat ke India saya menggunakan uang sendiri yang disisihkan dari beasiswa yang diterima, karena biaya tiket dan sebagainya masih bisa dihitung. Tapi untuk ke Brazil saya harus berfikir beberapa kali saat abstrak saya diterima. Bukan apa-apa, tiketnya terlalu mahal, hampir 30 juta rupiah, belum hotel dan makan. Jadi saya kubur mimpi konferensi di Brazil dan merelakan rugi uang pendaftaran yang hampir dua juta rupiah. Hingga kemudian suatu sore supervisor saya mengabari ada dana dari pemerintah Jepang untuk mahasiswa S3 di ilmu sosial di Kanazawa University sebanyak 17 juta yen, sekitar 1,7 milyar rupiah yang bisa dipakai hingga akhir Maret 2014. Kamu bisa berangkat konferensi kalau mau. Ya jelas maulah. Uang pendaftaran bahkan direncanakan diganti dari alokasi dana tadi. Saya juga sepertinya harus berterima kasih pada pak Maman rekan Untirta yang sekolah di Aussie yang mendorong untuk mengirim abstrak di malam terakhir deadline disaat saya bimbang karena khawatir tak bisa berangkat dan hanya buang uang.
Konferensi di Brazil adalah konferensi/kongres dunia di bidang filsafat hukum dan sosial yang diadakan dua tahun sekali. Sebelumnya diadakan di Frankfurt Jerman, dan 2015 nanti akan diadakan di Washington D.C, Amerika.
Konferensi ini dihadiri 900an peserta dari 57 negara. Setengah pesertanya dari Brazil, ada beberapa dari Jepang, Polandia, Jerman, Italia dll. Pada umumnya negara-negara tersebut tak sungkan mengeluarkan uang untuk delegasi-delegasi negaranya. Saya contohkan Jepang saja yang saya tahu. Para dosen di tempat saya kuliah biasa bepergian ke luar negeri untuk sebuah konferensi atau proyek penelitian. Penelitiannya sederhana dengan laporan yang juga sederhana. Misalnya meneliti negara-negara Asia selain Jepang tentang metode Bahasa Inggris yang dipakai (Pemerintah Jepang menilai Bahasa Inggris orang Jepang tak sebagus negara asia lainnya).
Nah bagaimana dengan Indonesia? Saya ceritakan satu pengalaman. Adalah Guswandi (maaf nih sob saya jadikan contoh), dosen Untirta, abstrak papernya diterima di Perancis. Abstraknya keren, tentang dominasi jawara Banten dalam penguasan lini ekonomi di Banten. Maka berjuanglah Ia mencari dana, saya menemani di level Untirta. Dikti punya skema pembiayaan model ini memang, dan draft kontraknya sudah ada antara Dikti dengannya untuk ke Paris yang sudah ia pegang, sebanyak 36 juta rupiah tertera. Singkat cerita Ia tak jadi berangkat karena waktunya tidak tepat, antara uang dan keberangkatan tidak sinkron. Aturannya tak fleksibel. Kampuspun tak bisa bantu. Pada akhirnya Guswandi tetap ke Prancis. Bukan untuk sebuah konferensi. Ia kuliah disana S2 dan lanjut S3.
Melihat dunia luar sangat penting untuk sebuah perbandingan. Kalau ingin maju hendaklah berangkatkan dan mudahkan para generasi bangsa ini untuk ke luar Indonesia. Adalah Habibie yang bicara begini di jajaran direksi Garuda Indonesia saat berterima kasih karena Garuda secara khusus menjemput jasad almarhumah Ainun: "Dik, yang hebat itu Soekarno, Soeharto hanya meneruskan, Soekarno punya visi yang jauh ke depan agar negara ini maju dan mandiri bisa membuat pesawat sendiri, maka disekolahkanlah putra putri Indonesia, saya adalah angkatan kedua yang diberangkatkan." (Note: kalimatnya tidak persis seperti itu, hanya berdasarkan ingatan, silahkan merujuk ke tulisan aslinya). Jadi Soekarno dulu sudah punya mimpi, dan di 1995 mimpi itu baru terwujud, pesawat pertama asli buatan kita mengangkasa yang kemudian 'dipaksa mendarat' oleh IMF (lebih lanjut baca "Antara Jepang, Habibi, dan Ainun" di blog ini (atau di catatan muka buku, saya lupa)).
Jadi begitulah, mudahkanlah jalan bagi para pendidik negeri ini untuk ke luar negeri. Apa-apa yang dipaparkan di konferensi luar tidak lebih hebat dari analisa para pengajar yang saya temukan di jurnal-jurnal Indonesia, hanya kesempatan saja yang membedakan. Jika saja para tenaga pendidik di Indonesia dimudahkan mendapatkan dana konferensi luar negeri, saya yakin kita, Indonesia, bisa lebih keren lagi.
Saya sudahi. Ini tulisannya agak kurang asyik. Tapi daripada tak ada tulisan lebih baik ada. Tulisan yang baik itu adalah tulisan yang selesai ditulis.
Belo Horizonte. 25/07/2013
Tuesday, July 23, 2013
Brazil Menggila!
"Spanyol menggila pak," ujar Awaludin marwan (Luluk), seorang filsuf muda Indonesia yang kuliah di Onati, Spanyol, suatu hari dalam sebuah pesan muka buku.
"Kenapa?" tanyaku."Mabuk tiap malam, di pinggir jalan."
Spanyol kini dalam masalah, angka penganggurannya sekarang (2013) 27,2%. Sebagai perbandingan, Jepang sekitar 4 koma sekian persen, dan Indonesia 6 koma sekian persen.
Aku kemudian merasakan apa yang Luluk rasakan. Mungkin ini yang disebut gegar budaya. Aku berkesempatan mengunjungi Brazil, di negara bagian Minas Gerais ber-ibukota Belo Horizonte, sekitar 1 jam naik pesawat dari Rio de Janerio, 40 menit pesawat dari Sao Paulo.
Sekira pukul tiga pagi, seorang perempuan muda kaget saat berpapasan denganku di koridor hotel. Ia baru saja turun dari taxi, Tangannya reflek rikuh memastikan bagian tubuh atasnya tak terlalu terbuka, yang tentu saja sulit ditutupinya. Ini ramadan, aku harus mencari sesuatu untuk sahur. Tapi suasana ramadan benar-benar tak terasa di Brazil. Penduduk muslim di sini tak sampai satu persen, hanya nol koma sekian.
Bar-bar di Belo buka hingga pagi buta, perempuan berpakaian tak karuan, berciuman dan berpelukan di pinggir jalan dengan pasangannya. Tak peduli orang sekitar sebagaimana orang sekitar juga tak begitu peduli. Hotel-hotel yang menawarkan sewa kamar singkat bertebaran, tertempel di pintu hotel.
Aku terpaksa membeli dua buah donat keras di sebuah bar. Tak jauh dari donat itu ada seonggok daging dengan bola mata yang sudah digoreng, sudah tak berbentuk, tapi kemungkinan babi. Di dalam bar orang minum, tertawa, ngobrol keras dengan bahasa portugis. Brazil merupakan koloni portugal, itu sebabnya bahasanya tertinggal. Aku memilih makan di luar bar, duduk di kursi plastik sambil mengenali sekitar.
Tak ada pilok, aku tak bisa menulisi "I was here" seperti banyak ditemukan di dinding wc rumah makan daerah pantura. Maka aku meminta seorang gelandangan muda mabuk untuk berfoto bersama. Mulutnya bau alkohol. Ia kemudian bicara ngalor ngidul dalam bahasa portugis dan meminta sedikit uang dengan ramah. Aku tak berikan. Jika ia belikan uang itu untuk beli minuman, maka peranku ada di situ.
Seorang lainnya menawariku kaos calvin klein dan mengingatkanku untuk berhati-hati.
"Kamu pasti baru di Brazil, lihat orang-orang itu (pemabuk di seberang bar di diskotik mini dengan musik jedang-jedung), bahaya bawa kamera seperti itu, seseorang bisa merampasnya dengan todongan senjata api," nasihatnya.
Segala kemungkinan memang bisa saja terjadi, maka kuputuskan untuk segera kembali ke hotel, mungkin ia benar, dan aku mulai tua untuk hal-hal semacam ini. Ini bukan daerahku. Ini bukan tempatku.
Menjelang pulang bertemu lagi sengan seorang lelaki Brazil kulit putih saat sedang mempelajari rute di sebuah halte bis. Ia menunjukkan foto perempuan dan memperlihatkan dompetnya yang kosong.
"I don't understand, do you speak English," kilahku
"I don't have money," ujarnya memelas.
"Oh I am sorry, but I have to go," tutupku.Belo benar-benar tak nyaman di pagi buta untuk turis. Padahal menurut seorang kawan Brazil, Belo terkenal dengan keramahannya.
Jadi begitulah, aku membeli sereal dan susu untuk sahur, juga cokelat, kudapan, apa saja. Di sini tak ada warteg yang buka di waktu sahur seperti di Serang.
Untuk buka puasa, aku sudah menemukan pizza enak vegetarian yang buka hingga jam 9 malam saja. Sepotongnya 3,5 rials, setara dengan 17 ribu rupiah. Brazil negara berkembang, tapi menurutku, harga-harga di sini mahal.
Tulisan ini harus disudahi.
Hotel Pampulha, kamar 611. 04.54 AM (Menjelang subuh, 05.12)
Monday, July 15, 2013
Customary Law versus European Law in Indonesia (Pertarungan antara Leidenaars dan para Utrecht)
(Dibuang sayang, tugas pada kelas Prof Kagami, resume buku The Leiden Legacy, Concepts of Law in Indonesia, disertasi karya Peter Burns, seorang Australia yang kuliah di Leiden. Buku ini menceritakan tentang pertarungan antara Leidenaars dan para Utrecht di Indonesia. UU agraria 1960 misalnya yang oleh Burns dikategorikan sebagai simbol kemenangan Utrecht)
Brief History of Indonesian Law.
In the last third of the sixteenth century, the northern Netherlanders
waged war to free themselves form the empire of Catholic Spain. In 1579 the
seven rebellious province constituted themselves a union at Utrecht. However it
was not clear that this Union amounted to anything more then defence pact.
After free from Spain, civil war occurred in Nederland, France then occupied
Nederland (1795-1813).
In the beginning of the seventeenth century, civil war continued and
sovereignty remained contested and unclear in Nederland. (Later, in 1838,
provinces at southern part of Nederland decided to separate themselves from
northern Nederland and have declared to build a new country which now known as
Belgium).
Even though civil war was occurring in Nederland, this did not inhibit
Dutch enterprise. Dutch ships were exploring and exploiting the trade routes of
the Spanish-Portuguese empires. The first fleet from Amsterdam had reached Banten
(Western part of Java Island) in 1596. In 1602, VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie/United East-Indies Company) was established to hold sole trading
rights in Asia.
VOC succeeded to dominate and has monopolized trading in Indie. Since
they monopolized trading in Indie, they have simplified that Indie belongs to
the Dutch. Van Vollenhoven, a Leiden scholar and adat law proponent, reminded Netherlander
that “when the first ship flying the tricolor at it mast dropped anchor in the
archipelago, the land was not constitutionally ‘barren and empty’. It was
brimful with institutions of government and authority: there was government by
and over tribes, villages, federations, republics and principality.
Since VOC dominated Indie’s trading, the history of Indonesian Law which
influenced by Nederland had begun. The Netherlands attempted to have legal
unification in Netherlands East Indie (NEI) [1]. The Hague commission had been established to recommend content for a
draft bill to standardize private law trough the NEI.
As we now that after free from Spain, Nederland was also colonized by
French. In 1810 Napoleon Codes was implemented in Nederland. Those Codes are
Code Civil, Code Commerce, and Code Penal. When Napoleon’s power collapsed, The
Nederland has started to draft their own codes which fit to Nederland people’s
values. The Hague commission appointed Kemper to establish the task. By 1830, Kemper
finished the draft and the draft (Burgerlijk Wet Boek/Civil Code, WetBoek van
Koophandel/ Code of Commerce, Code of Civil Law Procedure, and Code of Criminal
Procedure). These for codes was planed to prevail in February 1st
1831, but since there were protests from southern region of Nederland, the
enactment was postponed. The southern provinces saw that the new codes was only
expressing northern provinces values, the southern people felt that the
previous code was better and suit with their values. In 1838 the southern
region separated themselves and declared new country (Belgium). Kemper’s
successor was Scholten van Oud-Harlem, and continued by H.L Wicher to polish
the task.
With corcondantie principle the codes was also prevailed in Nederland’s
colony. In 1915, Wetboek van Straftrecht/Criminal Code was enacted in
Nederland-Indie and take in to force in 1918.
Van Vollenhoven opposed the whole project of the Hague commission. He objected
to the principle of standardization. His objection was based on the fact that
Indie has their own law which was called Adat Law.
Another opponent to Nederland’s government came from J Van der Vine who
wrote:
For one place which has millions people that not Christian and had their
own customs an religions, while its people who are muslim had a huge loyalty to
their religion, prevailing Nederland’s law would be an infringement/breach to
rights and customs of non-European people and also would destroy their legal
order and institution.
Van
Vollehoven had categorized Adat Law in to 19 Circle Law (Rechtskringen): 1.Ajteh, 2.Gajo, Alas dan Batak, 3. Minangkabau,
4.South Sumatera, 5. East Sumatera, Malaya and West Borneo, 6. Bangka and
Biliton, 7. Borneo (Except Malaya and West Kalimantan, 8. Minahasa, 9.
Gorontalo, 10. South Celebes, 11. Tanah Toraja, 12. Ternate Archipelago, 13.
Ambon, Netherlands-New Guinea, 15. Timor, 16. Bali and Lombok, 17. Central Java
and East Java (Including Madura) 18. Jogjakarta and Surakarta, 19. West Java.[2]
To have better understanding on this matter, a short explanation on what
adat law is, will be needed.
What is Adat?
The term adat was derived from
an Arabic root, ‘ada/adah’, which means ‘habit, wont, custom,
usage, practice. The word ‘custom’ is commonly used for ‘adat’ translation.
The term adat-law (adatrecht)
was used for the first time in 1893 by Snouck Hurgronje to describe Indonesian
folk law: adat that has legal consequences.
Cassuto explained adat law as the law, that rooted in the old country
law, has developed in the native community and is felt to be the law.
Van Vollenhoven describes adat law as a body of rules of behaviour for
natives and foreign oriental (timur asing),
which on the one hand are enforced by sanction (therefore “law”) and the other
hand uncodified (therefore “adat”).
Seminar on Adat Law in Indonesia (1976) concludes adat law as native
Indonesian Law which is not codified according to the provisions on legislation
of the republic of Indonesia and which to some extent contains religious
elements.
Up to present, adat law (including adat criminal law) is in a certain sense
‘living law’--hukum hidup--law that
is still used and developing and that judges can use as a reference in their
judgments in certain case.
Proponents of Adat
Law
Proponents of adatrecht in the second half of nineteenth century who had
inspired Cornelis Van Vollenoven:
G.A Wilken, the first adat-minded academic to teach in Nederland. The
child of missionaries in Menado, trained at Delft for what proved to be an
intellectually successful colonial service.
F.A. Liefrinck, an administrator who had lived and worked for ten years
in all in Bali. Liefrinck was limited to particular fields determined in most
part by his official duties: indigenous land rights, princely land tax, and
indigenous village institutions. He provided evidence from that island’s
history-and from his observations-to reinforce the view that the Indonesian
jural community was indeed self-sufficient.
F.D.E van Ossenbruggen, an orientalist-anthropologist.
Christian Snouck Hurgronje, initially an expert of Islam, he was sent as
adviser on native and religious affairs to assist the Dutch army of conquest in
the northern most region of Sumatera. Snouck’s duty involved close observation
of the ‘insurgents’ that is the Acehnese people, of their customs and
conventions. At the end of his research he announced that, though they
identified themselves as Muslims, the law obeyed in Aceh derived more from adat
than from the sharia of Islam. To explain his meaning, Snouck Hurgronje coined
the expression, adat recht. It was the first recorded usage. Snouck’s purpose
was to separate simple custom from customs which carried legal consequences.
Leiden versus Utrecht
Even though Utrecht scholars opposite with the Leidenaars, there was—even
in Utrecht—an appreciation of Nederland’s scholastic achievement. Is.H.Cassuto
for instance, he agreed with the Leiden opposition to legal unification. He
said that one law for all who live in the Indies was an impossibility. Despite
this concession, the staff of the Utrecht adat law faculty maintained their
distinctively critical position.
Cassuto claimed that he found a contradiction on Vollenhoven writing.
According to Leiden scholars, it was a convention common to adat that no
interpersonal transaction would hold force without the transfer of some
material consideration. Word of mouth or gentleman’s agreement did not suffice
to seal a contract. In Javanese adat, panjer
is necessary to bind the parties. Van Vollenhoven had explained that the panjer was not an advance payment: in no
way did it reduce the purchase price. Van Vollenhoven had presented this
convention as an essential element in Javanese adat. Yet Cassuto observed that he
had also written in dealings with one’s fellow villagers, everything is
arranged on the basis of mutual understanding and good faith.
The contradiction is not absolute, Van Vollenhoven explanation made it
clear that it was in dealings with outsiders that the Javanese had recourse to
the panjer.
Is habit self-justifying?
Responding to such question, The Utrecht theorist would have been
inclined to answer that question in very simple short and in the negative: ‘No,
not in default of validating legislation’
Against this, the Leiden theorist would have tended to say that valid
law lies in the consciousness of the community. They would have not denied that
the legislature exercised a valid function: its role was to confirm the jural
expectation of the people. Nevertheless, custom in its own right had the force
of law.
For Andre de la Porte—another Leiden lecturer—there was no doubt: law
was a reflection of popular values. The proper task of the lawmaker was to meet
the just demands of the people.
Contrary with Porte, J.P.B. de Josselin de Jong referred to customary law
as ‘a confusing fiction’. Custom is not law. Furthermore de Jong found a
confirmation for his analysis in the early writing of Van Vollenhoven “Where
there is no authority ready and able to enforce obedience to rules, there is no
law” (Van Vollenhoven). In later years, however, he and his companions would
resist any initiative that could transmute custom in to regulation.
Indonesia at present
Since Soekarno-Hatta (The 1st
Indonesian President and Vice-President) declared Indonesian independence’s
day in August 17th 1945. Indonesia adapted Nederland’s Codes (WvSNI,
BW, WvK) based on constitution of Indonesia article II (the Transitory Provisions)
which stipulated that all laws and
legislation existing under the Dutch colonial administration automatically
became the laws and legislation of the Republic of Indonesia, until repealed,
revoked or amended or found to be contradictory to the Constitution.
Van Vollenhoven and his students
(Ter Haar, Soepomo) had great effort to recognize adat law as Indonesian
indigenous law. Their effort has a great influence in their time up to present.
For example we can find several law in Indonesia which recognize adat law as a
living law in Indonesia:
·
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
·
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal
10: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus sesuatu perkara
yang diajukan, dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib dengan bertanggung jawab kepada Negara dan Revolusi memberikan putusan.
Pasal
20(1): Hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna
benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.
·
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman:
Pasal
27(1): Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
·
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal
25 (1):
“Segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
Pasal
28 (1): Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
·
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 5:
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Adat law nowadays still prevails
though in practices it just a ‘secondary law’.
[1] Translated from Netherlands Oost Indie ( a name for Indonesia),
however the word Oost disappeared from the official title of the Southeast
Asian colony during nineteenth century so generally the Dutch spoke only
Netherlandsch-Indie (Netherlands-Indies)
[2] Roelov
H. Haveman. The Legality of Adat Criminal
law in Modern Indonesia. Tata Nusa. Jakarta. 2002.p.26
Subscribe to:
Posts (Atom)