Ini
tulisan singkat, maka jika anda berharap akan menemukan data rinci mengenai
angka kemiskinan dan sebagainya, anda akan kecewa membaca tulisan ini. Ini
tulisan tentang hal yang saya temui di sela-sela perjalanan singkat saya menuju
Waseda University untuk menemui
seorang guru besar yang memiliki ketertarikan minat yang sama dengan saya. Jadi
di awal tulisan ini adalah waktu yang tepat untuk memutuskan apakah akan
meneruskan membaca tulisan ini atau tidak.
Ini
versi kemiskinan yang berbeda dari film dokumenter “Japan- A Story of Love and
Hate BBC (English Version)” yang diposting seorang kawan di muka buku. Film
yang sangat baik menggambarkan kemiskinan di Jepang saya kira, a must watch movie.
***
Hari
itu Sabtu, dua Maret 2013. Saya tiba di Stasiun Tokyo. Waktu di telepon genggam
saya menunjukkan puluk 07.00 JST (Japan Standard Time), masih jauh ke waktu
janjian yang pukul 14.00 di Waseda. Waseda masih berada di wilayah Kanto, dekat
dengan Tokyo. Jadi saya memutuskan untuk ‘mengenali’ Stasiun Tokyo. Saya orang
sosial, kesempurnaan akan keteraturan dan kemapanan adalah sesuatu yang
mustahil bagi saya, selagi di dunia pasti akan ada patologi sosial di manapun
itu, bahkan Jepang sekalipun yang dikategorikan negara maju dan kaya.
Mata
saya menubruk pemandangan tak umum, di Jepang yang terkenal bersih. Sebuah
selimut nampak dijemur di pagar umum stasiun, nampak kumuh. Jepret! Satu frame
tercipta dari pemandangan tersebut. Beberapa tuna wisma nampak mulai bergeliat
pagi itu. Beberapa tas koper, kardus alas tidur nampak di salah satu pojok
stasiun. Satu lainnya ditemukan juga di
dalam stasiun dekat Tozai line, sebuah kereta bawah tanah (subway train). Tak kurang enam tuna wisma saya temukan. Timbul
perdebatan dalam hati saat saya ingin mengenal mereka lebih dalam. Tak usahlah
mendramatisir kehidupan, tapi di sisi lain saya ingin mengetahuinya. Saya bukan
tipe jenius, modal saya dari dulu hanyalah rasa ingin tahu, curiosity, yang mulai digerogoti
kemalasan. Jika hal terakhir—rasa ingin tahu – itu saya abaikan juga maka
selesailah saya, saya tak punya apa-apa lagi.
Akhirnya
saya memutuskan untuk mengenal lebih dekat dengan salah satu diantaranya. Yang
di dekat Tozai Line nampak tak nyaman, Ia mendekati beberapa orang yang baru
turun dari kereta untuk mendapatkan belas kasihan. Terlihat orang-orang risih
dengan kehadirannya. Yang lainnya sedang asyik dengan botol beling birnya di
dalam stasiun. Saya memutuskan berkenalan dengan yang diluar. Dekat dengan
selimut yang sedang dijemur.
Namanya Tokugawa, usianya 80 tahun, badannya dibalut jaket kulit cokelat
kemerahan. Ia berasal dari Hamamatsu (masuk wilayah Chubu, kalau saya tak
salah). Rambutnya tak lagi hitam, nampak tak disisir, dibungkus dalam sebuah
topi pet mirip karakter om pasikom dalam karakter kartun Surat Kabar Kompas,
mirip topi Ari Wibowo pelantun madu dan racun, atau topi Hanggoro “Hengky” Tri
Rinonce seorang kawan di Korda Kansai. Yang terakhir itu belum setenar Ari
Wibowo memang, tapi suatu saat nanti akan menjadi terkenal, seorang dokter muda
dengan berjuta energi karya. Saya beruntung bisa berteman dengannya.
Tokugawa
sedang menikmati sarapan paginya saat saya sapa. Beberapa buah roti selai yang
biasa dijual di mini market. Saya duduk di trotoar yang sama. Membuka bekal
roti tawar oles cokelat karya istri tercinta. Saya menawarinya satu yang ia
balas dengan menawari rotinya. Kebanyakan orang Jepang menjunjung tinggi harga
dirinya. Menjadi orang yang dikasihani adalah hal yang tabu dalam budaya
Jepang. Jadi kami makan roti masing-masing di tengah kesibukan Tokyo pagi itu.
“Pemerintah Jepang tak memberi saya uang,” ujarnya dalam sebuah obrolan. Seingat saya Jepang punya pasal yang mirip dengan pasal terkenal dalam konstitusi kita “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Dalam Konstitusi Jepang pasal senada akan kita temukan di pasal 25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of wholesome and cultured living. In all spheres of life, the state shall use its endeavors for the promotion and extension of social welfare and security, and of public health. Anak kalimat pasal 25 UUD Jepang tahun 1946 ini mirip denganPasal 34 ayat 2 dan 3 UUD 1945: (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
“Pemerintah Jepang tak memberi saya uang,” ujarnya dalam sebuah obrolan. Seingat saya Jepang punya pasal yang mirip dengan pasal terkenal dalam konstitusi kita “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Dalam Konstitusi Jepang pasal senada akan kita temukan di pasal 25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of wholesome and cultured living. In all spheres of life, the state shall use its endeavors for the promotion and extension of social welfare and security, and of public health. Anak kalimat pasal 25 UUD Jepang tahun 1946 ini mirip denganPasal 34 ayat 2 dan 3 UUD 1945: (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Ya sudahlah pembahasan pasalnya, intinya bahwa ada jaminan sosial dan jaminan
penghidupan yang layak dari pemerintah di kedua negara. Di Indonesia kita bisa
menerka kenapa tidak berjalan. Tapi kenapa tidak berjalan di Jepang? Padahal
jaminan kesejahteraan sosial di Jepang berjalan untuk warga asing yang bukan
penduduk tetap di Jepang seperti saya. Ada perumahan pemerintah bersubdisi yang
terjangkau bagi warga Jepang dan non-Jepang. Ada uang kesejahteraan anak untuk
subsidi sekolah, susu bayi dan sebagainya. Ketiga anak saya mendapatkan sekitar
Rp.3,5 juta/bulan untuk tunjangan biaya sekolah dan susu bayi. Pada titik ini,
apa yang dikatakan Hikmah (saya biasa memanggilnya dengan “mbak”), seorang
Indonesia yang menikah dengan seorang Jepang menjadi terasa benar. Banyak orang
asing yang masih protes dan mengeluh dengan mahalnya berbagai biaya di Jepang
padahal mereka mendapatkan subsidi dan lain-lain, lebih singkatnya, tidak
bersyukur. Menemukan Tokugawa dalam keadaan tanpa rumah, tanpa uang,
menghadirkan kenyataan bahwa saya masih jauh dari kata bersyukur.
Saya
menawarinya untuk minum kopi bersama di dalam stasiun. Ia nampak enggan.
Mungkin karena rikuh dan akan sangat mencolok di tengah-tengah orang Jepang
yang mendewakan penampilan, fashion is
number one. Ya sudah, kami teruskan mengobrol di trotoar itu. Sehari-hari
ia biasa mangkal di sebuah pusat keramaian sekitar 100 meter dari stasiun.
Kalau malam ia tidur di luar. “Samui
dakedo…./Dingin sih tapi……” Saya bisa menerka, tak ada pilihan lain, shikataganai. Pada jam 10 malam stasiun
mulai ditutup saat saya tanya kenapa tak tidur di dalam stasiun. Beberapa toko
dalam stasiun memang tutup pada jam 9 atau 10 malam.
Saya
berusaha untuk kembali menemuinya pukul 8 malam ini. Tapi ia belum selesai
‘bekerja’ pada jam tersebut. Di akhir perbincangan saya memintanya untuk
berfoto bersama. Bagi saya, foto itu penting. Ia bisa mewakili 1000 kata
menurut pepatah Cina. Tapi Ia nampak enggan. Saya mengerti. Kepercayaan tak
bisa didapat dalam waktu 15 menit 30 menit. Biarlah saya yang mengalah
menuliskan 1000 kata. Belakangan saat di Waseda
University saya bisa menerka alasan lain kemungkinan keengganannya. Prof
Yoko Hosoi, Sosiolog Toyo University, menjelaskan bahwa seringkali pemerintah
Jepang ‘membersihkan’ mereka dari stasiun, tapi mereka kembali lagi. Pemerintah
juga menjamin kesejahteraan mereka, tapi Jepang kurang dana untuk mensuport
mereka. Itu sebabnya pasal yang disebut di atas tidak berjalan sebagiannya.
Hmm… saya memang pernah membaca bahwa Jepang mengalami defisit anggaran tiap
tahunnya. Indonesia malah kini yang sedang menjadi primadona, sexy lady, incaran negara maju. Hanya
saja kita masih punya pe’er besar di SDM, bukan soal kecerdasan, tapi lebih
soal mental, soal nasionalisme. Dalam bahasa Acep Purqon, alumni dan senior
kami, sexy ladynya gak boleh o’on.
Balik
lagi ke Tokugawa, saya tiba pukul 10-an malam di Stasiun Tokyo. Sebuah jamuan
makan malam membuat saya tak bisa tiba pukul 8. Ada sekitar tiga kardus tidur
dekat halte saya. Dua tertutup rapat nampak lebih hangat. Satu lainnya terbuka
pada bagian atas. Nampak Tokugawa tertidur menahan dingin di tengah gemerlapnya
Tokyo. Saya ingin mengambil fotonya, tapi saya juga ingin Ia menikmati
‘kemerdekaannya’, kamera saya kembali ke sarungnya. Saya pulang dengan mengenang
senyumnya saat saya tanya apakah Ia masih keturunan shogun.
Kamar
2 ベルナール Apato,
Wakunami. 5 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment