Pada suatu siang di pertengahan Januari 2012, saya terlibat diskusi ringan dengan Yasuyo Komatsu, teman di ruang belajar saya di Kanazawa University. Kali itu saya tertarik membahas masalah pengelolaan sampah di Jepang. Jepang adalah negara maju dengan tingkat kedisipinan yang tinggi dalam segala hal, masalah penanganan sampah adalah satunya. Sungai-sungai di Jepang sangat bersih dan bebas dari sampah, sementara di negeri kita, sungai bersih mungkin hanya bisa dijumpai di daerah pedesaan. Menurut Komatsu-san, kesadaran Jepang dalam membuang sampah sebenarnya merupakan hal yang baru, dimulai di Era 70-an. Masih menurutnya, beberapa orang tua masih memiliki kebiasaan lama seperti membuang sampah di sungai, tetapi ini sangat jarang ditemukan. Jepang memiliki budaya malu yang tinggi. Dalam pengamatan saya, moral di Jepang dipisah tegas antara moral publik dan moral privat. Dalam konteks sampah, siapapun anda, akan merasa malu jika tidak membuang sampai sesuai aturan di Jepang. Kalau kita salah mengelompokan jenis sampah, atau membuang sampah tidak sesuai dengan jadwal jenis sampah, petugas sampah tidak akan mengangkut sampah kita.
Sampah
mendapatkan perhatian khusus pemerintah Jepang, sehingga setiap orang asing yang
mengawali tinggal di Jepang akan mendapat panduan cara membuang sampah di
Jepang. Sampah dikelompokan ke dalam 4 jenis: combustible (sampah bakar), recycle
(sampah daur ulang), non-combustible
(sampah yang tak terbakar) dan bottles
(botol-botol). Keempatnya memiliki jadwal buang yang berbeda sehingga jika kita
membuang sampah combustible di hari
yang bukan jadwalnya, maka petugas sampah tidak akan mengambil sampah kita.
Sampah combustible adalah jenis sampah yang
dapat dibakar. Sampah jenis ini misalnya sampah rumah tangga atau apapun yang
sifatnya dapat dibakar. Sampah recycle
adalah jenis sampah yang plastik semisal kantung dan botol plastik, jika masih
ada sisa isi dari botol plastik tersebut maka harus
dibersihkan/dikosongkan terlebih dahulu
(rinse out). Sampah jenis ketiga
adalah non-combustible , sampah yang
berbahan 80% metal, atau yang tidak dapat terurai dalam tanah. Sampah jenis
terakhir adalah bottles yang meliputi
berbagai jenis botol kaca yang dipisahkan berdasarkan warnanya.
Beberapa sampah
tidak dapat kita buang seperti barang elektronik yang sudah tidak terpakai
seperti televisi, refrigerator (lemari
es), pendingin udara (air conditioner)
ban bekas. Untuk dapat membuangnya kita harus merogoh kocek, membayar untuk
membuang sampah tersebut. Kita membeli tiket pembuangan sampah di convenience store (mini market 24 jam),
kantor pos atau di balai kota yang menyediakan disposal ticket agent.
Konsep reduce, recycle, reuse, (mengurangi,
mendaur ulang, dan menggunakan kembali) sudah digunakan dan berjalan efektif di
Jepang. Berbagai hasil pengolahan sampah combustible
dimanfaatkan, diantaranya menjadi cone-block untuk trotoar.
Bagi kita
yang tidak terbiasa dengan sistem ini akan mengalami kesulitan untuk
membiasakan diri. Termasuk bagi saya, membuang sampah pada tempatnya tidaklah
sulit, tetapi memilah-milih jenis sampah, mengategorikan, memisahkan dan mencocokan jadwal membuang sampah sesuai
jenisnya bukanlah perkara mudah bagi orang yang belum terbiasa melakukannya. Di
bulan-bulan awal tinggal di Jepang, satu dua kali pemberitahuan lewat email (electronic mail) dari international
student affair tentang sampah mampir ke inbox
email. Isinya beragam: salah membuang jenis sampah, terlambat dari jam yang
telah ditentukan (8.30 JST/Japan Standard
Time), hingga yang terakhir seseorang entah siapa membuang penghangat
minyak (biasa digunakan di musim dingin) lengkap dengan minyak yang masih
tersisa.
Jepang
menyadari bahwa tiap bangsa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Untuk itu
berbagai upaya dilakukan agar bangsa luar Jepang memahami dan mengikuti ritme
pengelolaan sampah di Jepang. Bukum manual, brosur, leaflet dan pelatihan
dilakukan untuk penyesuaian ritme ini. Di Kanazawa misalnya, Kief (Kanazawa
International Exchange Foundation)—sebuah lembaga relawan nirlaba—baru-baru ini
menggelar program pelatihan cara membuang sampah di Jepang untuk orang
asing.
Masyarakat
dan Pemerintah Jepang memerlukan kerja sama yang baik dan waktu untuk mendidik
masyarakatnya agar menyadari pentingnya manajemen pengelolaan sampah.
Perjalanan waktu mengabarkan bahwa konsep kesadaran untuk membiasakan diri
tersebut membuahkan hasil. Regulasi
dibuat, infrastruktur dibangun dan budaya tercipta.
Apakah
Indonesia bisa? Jika Jepang bisa, kita juga pasti bisa, terlebih Indonesia yang
menyandang nama negeri dengan pemeluk Islam terbesar di dunia yang hampir semua
orang tahu terdapat hadist yang menjelaskan tentang kebersihan yang sebagian
dari iman. Barangkali kita harus berhenti sejenak, membuka dompet dan melihat
pada selembar kartu, merenungi kata agama dalam KTP yang mulai kehilangan
makna. Kita pernah mencoba mengategorikan sampah organik dan non-organik, kita
bisa berangkat dari sana kembali, dengan membangun kesadaran bersama bahwa
pilihan kita cuma dua, merusak atau merawat bumi ini, dimulai dari negeri kita,
Indonesia!
No comments:
Post a Comment