(dimuat di http://www.lenteratimur.com/konflik-agama-dapat-diselesaikan-secara-adat/)
Posted by TM. Dhani Iqbal Featured, Kasatmata Tuesday, February 8th, 2011
Juru Bicara Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh, menjawab pertanyaan wartawan di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Minggu (6/2), di Jakarta. Foto: LenteraTimur.com/TM. Dhani Iqbal.
Penyerangan massa yang mengakibatkan tewasnya tiga orang anggota Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, tak lepas dari absennya sistem adat. Fanatisme yang datang dari tradisi luar sangat mungkin tumbuh di kawasan yang tak lagi menjadikan adat sebagai sistem nilai.
Pakar hukum adat dan kriminologi Universitas Tirtayasa, Banten, Fery Faturohman, mengungkapkan hal tersebut kepada LenteraTimur.com, Selasa (8/2), di Banten, terkait penyerangan terhadap Ahmadiyah yang disertai pembunuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Pada penyerangan yang terjadi di hari Minggu (6/2) tersebut, tiga orang tewas dan puluhan lainnya luka berat. Mereka diserang oleh massa yang disebut-sebut berjumlah sekitar 1500 orang. Massa menyerang kala anggota jamaah ahmadiyah sedang berkumpul di rumah Ustad Suparman. Ini merupakan kasus termutakhir yang melanda kelompok Ahmadiyah.
Beberapa lama sejak reformasi bergulir di Indonesia, Ahmadiyah memang telah menjadi target kekerasan. Sebelum Cikeusik, mereka diserang di berbagai tempat, entah itu Bogor, Tasikmalaya, Lombok, atau Makassar. Terhadap serangan bertubi-tubi ini, Jamaah Ahmadiyah Indonesia mengaku tak memiliki strategi untuk melakukan perlawanan. Mereka lebih memilih mengharapkan perlindungan dan keselamatan dari negara.
“Saya kira perlawanan akan memperkeruh suasana. Tapi mempertahankan diri itu tentu diizinkan oleh agama maupun diizinkan oleh hukum di Indonesia… Dalam ajaran kami, mati mempertahankan agama itu mati syahid… Jadi kalau tempat kita diserang, kan kita boleh mempertahankan diri. Hukum mengizinkan, agama mengizinkan. Lebih dari itu kan kita tidak boleh,” ujar Juru Bicara Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Zafrullah Ahmad Pontoh, di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Minggu (6/2), di Jakarta.
Menurut Zafrullah, penyerangan demi penyerangan itu di luar akal sehat. Apa yang dituduhkan kelompok tertentu bahwa pihaknya meresahkan kelompok tertentu adalah tidak benar.
“Kalau orang Ahmadiyah salat, salat jumat, salat lima waktu, bagaimana bisa menyinggung perasaan? Orang mau jadi baik masak menyinggung perasaan. Itu satu hal yang berada di luar logika,” kata Zafrullah.
Persoalan mendasar yang menjadikan polemik Ahmadiyah berlarut-larut ada pada prinsip kenabian. Kelompok tertentu menuding bahwa Ahmadiyah, yang mengaku sebagai Islam, tidak menjadikan Muhammad sebagai nabi terakhir, tetapi Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian, hal ini dibantah oleh Zafrullah.
“Ini kan masalah penafsiran, ya. Sudut pandang. Beliau (Muhammad), menurut pandangan kami, itu nabi terakhir yang membawa syariat,” ucap Zafrullah.
Zafrullah menambahkan, posisi Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok yang mengkhidmati Nabi Muhammad. Namun, selama ini Ahmadiyah tak dapat menjelaskan perihal kenabian ini kepada masyarakat luas secara lugas. Sebab, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait Ahmadiyah menghalangi pihaknya untuk memberikan penjelasan.
“Anda beragama apa? Islam? Ketika saya mengatakan Anda bukan Islam, (tapi) Kristen misalnya, Anda mau membantah tidak boleh. Menurut saya Anda Kristen. Sudah. Bisa diterima enggak? Kami juga seperti itu. Ketika kami ingin menjelaskan, SKB (bilang) jangan jelaskan,” terang Zafrullah.
Aksi masyarakat dari berbagai elemen memprotes penyerangan dan pembunuhan anggota Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, Senin (7/1), di Jakarta.
Meski demikian, di lokasi yang sama, pejabat Hubungan Masyarakat Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Mubarik Ahmad, sedikit menerangkan kepada LenteraTimur.com bahwa Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai nabi yang ditunggu-tunggu pada akhir zaman, yang dalam banyak literatur disebut sebagai Nabi Isa atau Imam Mahdi.
“Di hadits, salah satu tanda-tanda zaman, Rasulullah mengatakan, kapan turunnya Imam Mahdi atau Nabi Isa ini, (jawabnya-red) pada saat akhir zaman. Apa tanda-tanda akhir zamannya? Satu, bila unta-unta telah ditinggalkan oleh manusia, tidak dipergunakan lagi. Sahabat (Nabi Muhammad-red) ketika itu bingung, kok unta ditinggalkan. (Kedua) apabila binatang-binatang dikumpulkan di kota. Itu hadits juga. Sejak kapan orang mengumpulkan binatang di kota, berupa kebun binatang? (Ketiga) apabila perempuan berpakaian seperti laki-laki. Ini ciri-ciri akhir zaman. Dan pada akhir zaman, Imam Mahdi atau Nabi Isa akan turun,” papar Mubarik.
Menurut Mubarik, kemunculan imam Mahdi dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad tidaklah menegasikan posisi Muhammad.
“Muhammad terakhir dalam hal syariat. Tidak ada lagi nabi yang sempurna seperti beliau,” ujar Mubarik.
Perbedaan hanya muncul dalam tafsir tentang Imam Mahdi atau Nabi Isa yang dikatakan muncul di akhir zaman tersebut.
“Jadi perbedaan Ahmadiyah dengan yang lain adalah Ahmadiyah memandang Imam Mahdi atau Nabi Isa sudah datang, sedangkan yang lain masih menunggu. Jadi ada yang masih menunggu, ada yang merasa sudah datang,” ucap Mubarik.
Peran Adat
Perbedaan penafsiran Ahmadiyah dengan kelompok Islam lainnya ini kerap dijadikan latar belakang penyerangan terhadap Ahmadiyah. Sebagian pihak lantas merespon kejadian yang terus berulang ini sebagai indikasi tak hadirnya negara dalam melindungi warga negaranya.
Namun, Fery memberikan perspektif lain. Menurutnya, kejadian brutal di Cikeusik, Pandeglang, itu sangat mungkin juga terjadi karena absennya atau tak mengakarnya adat bagi masyarakat setempat. Fanatisme agama atau paham yang berasal dari tradisi luar dapat tumbuh di masyarakat yang tak lagi berjejak pada adat.
“Cikeusik Pandeglang, tempat kerusuhan kemarin, bukan Cikeusik Lebak tempat Baduy Dalam berada. Jadi tidak ada Sunda Wiwitan di sana,” kata Fery.
Untuk itu, dosen yang riset terakhirnya tentang hukum adat Baduy ini berkeyakinan bahwa persoalan kejadian penyerangan terhadap Ahmadiyah perlu diselesaikan secara adat. Apalagi kejadian tersebut berpotensi untuk terulang. Hukum adat dipandang memiliki kelengkapan penyelesaian yang lebih komprehensif ketimbang hukum positif. Sebab, hukum positif tidak menyelesaikan kasus secara integral, tetapi lebih berorientasi pada pelaku (retributive justice). Sedangkan hukum adat cenderung menyelesaikan perkara secara integral yang meliputi pelaku, korban, dan masyarakat yang terkena dampak tindak pidana, (restorative justice).
“Para tokoh adat harus berkumpul untuk musyawarah melibatkan Ahmadiyah. Konflik horizontal lebih efektif diselesaikan dengan para tokoh adat,” ujar Fery.
VN:F [1.9.6_1107]
1 comment:
progresif sekali. hmmm....
Post a Comment