Menceritakan sejarah Teknokra bukanlah persoalan yang mudah, meskipun hanya menceritakan satu tahun kepengurusan Teknokra periode 2003/2004. Perjalanan waktu membuat beberapa keping cerita kehilangan akurasinya. Teknokra kepengurusan 2003/2004 hanyalah bagian kecil dari perjalanan sejarah panjang Teknokra.
Untuk menghindari ketidakakuratan sebagaimana kekhawatiran tadi, saya menghubungi kembali beberapa angkatan 19 dan 20 di Teknokra yang pernah menjadi tim, bersama meneruskan perjalanan Teknokra seperti Turyanto 'Tutur' Pemimpin Redaksi Teknokra 2003/2004, Eva 'Eput' Danayanti Pemimpin Usaha Teknokra 2003/2004, Luberti Muvia, Eka Tiara Candrananda, Aismet, Asti Aini, Wulan, Sugeng 'Suwo' Wahyudi, untuk meminta konfirmasi, menghimpun kepingan-kepingan cerita yang terserak.
Kepengurusan kami (Saya, Tur, dan Eput) bermula di sebuah pagi di akhir 2003 di rumah Eva Danayanti. Saat itu Saya, Eva dan Asti berdasarkan hasil mubes Teknokra diamanahi menjadi tim formatur untuk kepengurusan Teknokra satu tahun ke depan.
Kenapa rumah Eva yang dipilih? Karena di tempat Eva ada minuman dan kue yang bisa dikunyah, Asti dan saya berstatus anak kost, pendatang dari Serang, orang Lampung menyebutnya dengan Jaseng, Jawa Serang, jadi dapat dipastikan tak ada yang bisa dikunyah sambil rapat kalau rapatnya berlangsung di tempat kost. Apalagi Teknokra membuat kami menjadikan manusia yang rongot, para senior di Teknokra yang mewariskannya, sungguh. Jadi kalau ada makanan, jangan sampai mubazir, harus dimakan.
Selain itu persediaan air bersih di rumah Eva melimpah, saya bahkan menyempatkan mandi pagi di sana. Eva sempat menghibahkan saya kemeja hitam lengan panjang milik kakak laki-lakinya Evril Irawan, saat melihat saya masih mengenakan baju yang sama dengan sebelum mandi. Di Teknokra, baju yang dikenakan punya usia pakai maksimalnya sebelum dicuci, lebih awet, untuk daleman bahkan bisa side A side B seperti jika kita memutar kaset. Sebenarnya saya orang yang higienis, rapih dan sebagainya, hanya saja Teknokra telah merubah gaya hidup saya untuk memaksimalkan segala sesuatu, termasuk usia pakai pakaian.
Ada yang aneh saat itu, setelah mandi, seluruh badan saya malah bau sampo. Eva dan Asti juga menyadarinya. Saya baru sadar botol plastik lifebuoy yang ada di kamar mandi yang saya pakai ternyata sampo, bukan sabun cair. Yo weis lah nggak papa, malah baunya lebih awet dari sabun.
Tentang air, anak-anak Teknokra menganggapnya sebagai barang berharga, selain untuk mandi diperlukan juga terutama untuk menyeduh kopi—saat itu belum ada dispenser, masih memakai kompor minyak tanah—untuk menemani rapat, menulis, mengedit dan menemani para lay outer begadang mendesain Teknews atau tabloid.
Persoalannya, air di kamar mandi gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) selalu krisis. Jika bak mandi terisi penuh pasti tak bertahan lama, segera menyusut. Maklum, gedung PKM dihuni belasan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), sementara waktu mengalir air hanya pada jam-jam tertentu di pagi hari yang jadwalnya ditentukan penjaga gedung PKM. Sering bahkan saya jumpai kotoran di kakus yang tak sempat disiram karena tak ada air di bak. Saya membayangkan kok ada orang seperti itu, mungkin kebelet. Tapi kalau tak salah ingat saya pernah juga mengalami situasi yang saya bayangkan. Pagi-pagi kebelet, kosan jauh, rektorat belum buka, wc terdekat ya PKM, tak ada air di bak, akhirnya bawa botol plastik air mineral dari Teknokra, isi dengan air, paling tidak bisa untuk sekadar bersihkan diri. Hmm… saya lupa, mungkin lebih tepatnya ingin melupakan.
Air memang jadi persoalan tersendiri. Tidak hanya di PKM, di tempat kost di perkampungan mahasiswa, Kampung Baru, air juga merupakan barang langka terutama di musim kemarau, banyak sumur yang mengering.
Satu-satunya air melimpah di sekitar kampus adalah di Masjid Alwasi'i Unila. Alwasi'i menjadi tempat favorit anak Teknokra untuk mandi pagi sebelum kuliah.
Peralatan mandinyapun sederhana, hanya sabun saja terkadang dengan odol, fungsi sikat gigi biasanya digantikan dengan jari telunjuk. Jika tak membawa handuk tak usah panik, Urie, mantan pemum Teknokra suatu petang selepas magrib di teras Alwasi'i, pernah mengajarkan cara efektif yang ia dapat secara alami untuk mengurangi kadar air di tubuh kita setelah mandi, melompat-lompat! Kalau kita bawa baju salin baru, baju lama bisa juga digunakan sebagai handuk.
Kembali ke rapat tim formatur di ruang tamu Eva. Pada intinya ada empat posisi penting yang harus diisi orang-orang terbaik di Teknokra yang harus kami rumuskan: Pemimpin Redaksi (Pemred), Pemimpin Usaha (Pemus), Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) dan Kepala Kesekretariatan (Kasekret). Kami dibantu dengan masukan dari para peserta mubes sebelumnya yang menuliskan di secarik kertas untuk merekomendasikan siapa kiranya yang akan menduduki posisi masing-masing posisi tersebut.
Uniknya, di Teknokra, karakter keahlian seseorang relatif mudah terlihat, karena kejelasan pengkaderan berjenjang yang ditempuh dan ruang pembelajaran otodidak lintas bidang dan divisi yang terbuka luas. Selain itu masa mukim di Teknokra hampir seusia dengan masa perkuliahan (bahkan terkadang melebihi masa kuliah) sehingga karakter keahlian seseorang terlihat jelas ke arah mana kecenderungannya. Maka untuk menentukan pemred, pemus, kapuslitbang, kasekret Teknokra tidaklah begitu sulit.
Untuk pemimpin redaksi, nama Turyanto segera muncul baik dalam rekomendasi maupun benak kami bertiga. Turyanto Mahasiswa Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Unila angkatan 1999. Di Teknokra ia adalah angkatan 20. Turyanto 'dibesarkan' dan mumpuni di bidang redaksi Teknokra. Ia juga pernah menjadi Pemum Agrispektro, lembaga penerbitan mahasiswa di Fakultas Pertanian Unila.
Tulisan Turyanto sering muncul di harian lokal seperti Lampung Pos, dan sesekali di Radar Lampung. Saat itu nama kru Teknokra yang sering muncul di rubrik opini media lokal adalah Tur dan Eny Mutatowiyah, Eny satu angkatan dengan Tur di Teknokra. Selain mereka berdua, nama lain yang sering muncul di media lokal adalah Budiyanto Dwi Prasetyo, namun Budiyanto 'Shemone' DP adalah angkatan 18 dan baru selesai menjabat Pemus Teknokra, sementara kepengurusan Teknokra yang akan kami bentuk adalah kepengurusan kolaborasi angkatan 19 dan 20.
Kami bertiga kemudian bersepakat bidang redaksi dijabat oleh Turyanto. Dan hingga menyelesaikan masa baktinya di Teknokra, Tur tetap konsisten di jalur redaksi.
Turyanto kini menjadi wartawan di harian Jurnal Nasional di Jakarta setelah sebelumnya bekerja sebagai wartawan Bisnis Indonesia. Padahal sesungguhnya ia tak berencana menjadi wartawan.
Saya dan Tur pernah bicara tentang masa depan. Kami memang sering mengobrol bersama karena sempat tinggal di tempat yang sama di Pondok Pesantren Mahasiswa Darul Hikmah, hanya saja saya tak sekamar dengan Tur.
Tur ingin bekerja sesuai dengan kuliahnya di Jurusan Agronomi, sementara saya malah sempat bercita-cita menjadi wartawan. Meskipun pernah beberapa kali menjadi wartawan lepas, namun pada akhirnya saya tak bekerja sebagai wartawan. Mungkin ada benarnya apa yang pernah diomong Juwendra 'Big Joe' Asdiansyah mantan pemum Teknokra periode 1998-1999 yang kini menjadi wartawan Seputar Indonesia untuk wilayah Lampung. "Jangan ngomong nggak mau jadi wartawan, ntar malah jadi wartawan, beberapa alumni Teknokra yang sekarang jadi wartawan dulunya nggak mau jadi wartawan ," ujarnya suatu hari.
Setelah posisi Pemred Teknokra terisi, berikutnya menentukan posisi Pemus Teknokra. Sebagian besar rekomendasi peserta mubes menjatuhkan pilihannya pada Eva Danayanti. Mahasiswi Agronomi Fakultas Pertanian Unila angkatan 1999. Di Teknokra Eva satu angkatan dengan saya, 19.
Eva cekatan mencari dana, mungkin karena pengaruh nama belakangnya. Di Agrispektro, Ia pernah tercatat sebagai pemimpin redaksi, mendampingi Tur.
Eva orang yang efisien. Ia sudah biasa menghasilkan dan menggunakan uang sejak masih mahasiswi. Ia pernah membuat dan menjual berbagai merchandise dengan nama McBeal bersama beberapa rekannya di luar Teknokra. Punya banyak ide kreatif. Bahan daur ulang ditangannya bisa menjadi uang. Eva juga seorang organiser, perencana yang baik dan negosiator handal. Sejak magang di Teknokra ia—bersama Fitria 'Pitot' Agustina—sudah bisa menggaet sponsor untuk kegiatan DJML (Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa tingkat Lanjut), bonus hasil menggaet sponsor ia belikan organizer kala itu. Maulana Mukhlis, Pemus Teknokra periode 1999-2000, pernah sangat bangga dengan hasil kerja Eva. Dan Pemus Teknokra periode 2003/2004pun dijabat oleh Eva Danayanti.
Eva kini bekerja di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, setelah sebelumnya bekerja di Pantau, sebuah yayasan yang concern di bidang jurnalisme. Sama dengan Tur, Eva awalnya tak berencana bekerja di bidang junalisme. Namun belakangan Eva malah mencintai pekerjaannya hingga memundurkan wisuda dan rencana lainnya.
Kerjaannya kini keluar kota dan pulau di Indonesia, sesekali ke luar negeri, seperti saat saya membuat tulisan ini, ia sedang berada di Kendari setelah sebelumnya pulang dari Bangkok, Thailand.
Posisi Kapuslitbang Teknokra kemudian dipercayakan pada Luberti Muvia, Mahasiswi asal Muara Bungo, Jambi, angkatan 2000 Teknik Kimia Fakultas Teknik Unila. Di Teknokra Berti satu angkatan dengan Tur, 20. Di luar Teknokra, Berti pernah menjabat sebagai Pemum Cremona, sebuah lembaga penerbitan mahasiswa di Fakultas Teknik Unila.
Penelitian dan Pengembangan adalah sebuah divisi di Teknokra yang harus menghasilkan ide-ide cerdas semisal blue print alur pengkaderan, mengonsep upgrading kru Teknokra. Menopang Teknokra dalam hal jurnalisme presisi dengan backup-an data, dan meneruskan kemampuan melakukan penelitian polling dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelumnya Divisi Penelitian dan Pengembangan di Teknokra menjadi divisi yang dianggap 'buangan', sampai-sampai litbang pernah dipelesetkan menjadi sulit berkembang. Imej itu terus muncul hingga Doddy 'Diroy' Wuryanto (Kapuslitbang di era pemum Agus Sahlan Mahbub) dan Saiful 'e-Fu' Bahri, melakukan studi banding, menyelami dan mempelajari metode polling Kompas di Jakarta selama beberapa hari. Hingga akhirnya ilmu manajemen polling bisa didapat.
Kemampuan melakukan polling ini kemudian diteruskan turun temurun pada kru Litbang di Teknokra. Trio litbang di zaman saya magang, Doddy, e-Fu dan Dwi Mulyanti juga tercatat pernah membuat blue print Teknokra secara keseluruhan, semacam manual book
of Teknokra.
Berkat trio litbang tadi itulah imej cerdas menempel di divisi litbang. Litbang diidentikan dengan cerdas, dan memang begitu kenyataannya. Nama-nama kapuslitbang kemudian mudah menempel diingatan karena ya itu, imejnya cerdas. Misalnya Doddy Wuryanto saat pemumnya dijabat Agus Sahlan Mahbub. Kemudian saat tongkat estafet pemum berganti ke Dariyus Hartawan, kapuslitbang dijabat oleh Febriyanti, kemudian Budiyanto 'shemone' Dwi Prasetyo saat pemumnya M Fakhruriza 'urie' Pradana. Zaman pemumnya Zaenal Musthopa, kapuslitbang dijabat oleh Asti Aini, teman satu angkatan saya di Teknokra. Nah, nama Luberti Muvia tidak muncul begitu saja. Berti adalah kaderan Asti dan para pendahulunya, sehingga kemampuannya di litbang tak diragukan lagi. Berti sekarang tinggal di Kota Bumi, Lampung, bersama suaminya
Saat menentukan posisi Kasekret Teknokra, nama Eka Tiara Candrananda banyak direkomendasikan para peserta mubes. Saya tidak tahu apa alasan mereka memilih Eka. Tapi Eka memang orang yang tepat untuk berada di posisi kasekret. Sejak masih di Teknokra dan mahasiswi, Eka juga tercatat sebagai staf di Damar, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern di bidang advokasi perempuan dan anak. Eka dikenal cerewet dan apik terhadap barang. Eka sendiri sekarang masih aktif di Damar, tinggal di Bandar Lampung, bersama anak dan suaminya.
Bicara tentang barang di Teknokra, penggunaannya selalu saja boros, semisal spidol, batu batere, printer, komputer dll. Bukan karena penggunaannya yang sembarang, tapi karena memang beban kerja yang diemban barang tersebut luar biasa. Barang di Teknokra sering dieksploitasi penggunaannya hingga tak bersisa, mengingat kegiatan Teknokra yang seabreg. Spidol white board misalnya, beberapa diantaranya sudah puluhan kali diisi ulang hingga bahkan ujung mata spidolnya telah burai melebar. Atau komputer yang penggunaannya siang malam. Tapi saya rasa penderitaan barang-barang tersebut tak sia-sia, tak jarang pengorbanan mereka membuahkan hasil dengan perubahan kebijakan yang pro mahasiswa misalnya.
Selain persoalan logistik, kesekretariatan juga bertugas membuat SK (surat keputusan), merawat, merapihkan dan menyimpan arsip-arsip penting Teknokra dengan baik, termasuk surat masuk dan keluar. Dokumen-dokumen penting dan catatan sejarah Teknokra ada di kesekretariatan. Setelah Eka menjadi kasekret, ada sedikit perubahan pada anak-anak Teknokra dalam menggunakan barang, mungkin karena terbayang wajah cerewet Eka.
Saat awal-awal menjadi pemum, saya pelajari semua sejarah Teknokra yang ada di lemari kesekretariatan, karena selama ini selalu mendapat cerita tentang Teknokra dari senior. Saya pelajari dari awal pendirian, izin terbit, proses menemukan kembali ISSN yang pernah didapat, lembar demi lembar, hingga sebuah proposal yang membuat saya tersenyum. Entah di era kepemimpinan siapa saya lupa ada sebuah proposal lusuh, kertasnya mulai menguning, isinya tentang permintaan membeli sebuah mobil Daihatsu Hizet 1000 untuk distribusi Tabloid Teknokra. Saya tersenyum membacanya, membayangkan masa lalu Teknokra. Mobil itu kemudian tak pernah ada di Teknokra, karena memang permintaannya tak dipenuhi. Mungkin karena dianggap berlebihan, sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dibelikan mobil.
Padahal distribusi Tabloid Teknokra memang bukan hanya di Gedong Meneng Unila. Distribusi Tabloid Teknokra juga pernah sampai di PGSD Unila di Kota Metro dan Tanjung Karang. Semasa magang, saya pernah mengantarkan Tabloid Teknokra ke Metro bersama (Alm) Herizon menggunakan bis yang kemudian disambung becak untuk sampai ke PGSD Unila di Metro, dan ternyata di sana, Tabloid Teknokra ditunggu kedatangannya.
***
Setelah posisi-posisi strategis terisi, kami berlima: saya, pemred, pemus, kapuslitbang, kasekret bertemu untuk menentukan posisi masing-masing kru Teknokra, apakah berada di redaksi, usaha, litbang atau kesekretariatan. Tempatnya masih di rumah Eva, bedanya, kami rapat di rumah kecil di halaman belakang, semacam paviliun yang kabarnya disiapkan untuk Eva jika sudah berkeluarga.
Pada tahap penentuan posisi masing-masing kru Teknokra ini tidaklah semudah seperti menentukan posisi pemred, pemus, kapuslitbang dan kasekret. Musyawarahnya lebih alot dan argumentatif, meski demikian alhamdulillah struktur kepengurusan Teknokra secara keseluruhan lengkap terbentuk.
Setelah rampung semua, sesuai kebiasaan, posisi masing-masing kru Teknokra disosialisasikan pada seluruh kru Teknokra termasuk magang Teknokra. Ada dua hal yang disosialisasikan, posisi masing-masing kru dan sosialisasi kebijakan umum. Malam penyosialisasian adalah malam yang ditunggu-tunggu seluruh kru Teknokra. Karena masing-masing ingin tahu di mana posisinya berada, redaksi, usaha, litbang atau kesekretariatan.
Ada satu dua wajah yang kecewa setelah mengetahui dirinya tak sesuai dengan bidang atau divisi dimana ia ingin berada. Memutuskan seseorang berada dimana memang bukan perkara mudah. Menyusun sebuah kepengurusan selalu menyisakan ketidakpuasan. Namun alhamdulillah semua tampak menerima setelah mendapat penjelasan bahwa ini untuk kepentingan Teknokra, potensi yang ada pada masing-masing orang dibutuhkan untuk menyuport bidang dan divisi dimana ia ditempatkan. Beberapa orang yang sempat tak puas saya dekati secara personal setelah sosialisasi selesai. Saya yakinkan bahwa pengetahuan, dan pemikirannya dibutuhkan di bidang atau divisi yang ia tempati, saya tak berbohong, memang demikian adanya, mungkin itu sebabnya persoalan menjadi lebih ringan dan mudah diterima.
Selain soal struktur kepengurusan, soal lain yang disosialisasikan pada 'malam pertama' kepengurusan adalah beberapa langkah kebijakan umum yang telah disepakati sebelumnya di tingkat jajaran pemimpin. Misalnya adalah penggunaan telepon yang dibatasi hanya untuk kepentingan Teknokra. Kunci telepon dipegang oleh tiga orang: Saya, Tur dan Eput.
Boleh menggunakan telepon untuk kepentingan pribadi dengan catatan dibayar pula oleh pribadi. Irma, staf keuangan Teknokra yang nantinya akan menagih biaya yang ditimbulkan atas pemakaian pribadi berdasarkan nomor telepon yang dihubungi yang tertera dalam print out.
Saya beruntung didampingi Eva, Tur, Berti dan Eka. Bagi saya, jajaran pemimpin Teknokra 2003-2004 adalah the dream team. Orang yang tepat berada pada posisi yang tepat, splendid.
Saya menyerahkan kewenangan penuh pada Turyanto, Eva, Berti dan Eka untuk mendesain bidang dan divisinya masing-masing dengan koordinasi yang terpadu. Teknokra masa itu terdiri dari dua bidang dan dua divisi. Bidang redaksi dan usaha, divisi litbang dan kesekretariatan. Eva kemudian mendesain unit kreatif usaha, sebuah unit yang berangkat dari pemikiran diversifikasi usaha untuk mencari alternatif dana untuk Teknokra. Jenis usaha unit kreatif misalnya event organizer, jasa desain setting kaos, pin dsb.
Tapi terlepas dari the dream team, saya beruntung dan bersyukur saudara seangkatan di Teknokra, 19 (Pitot, Asti, Wulan) dan angkatan 20 (Sugeng 'Suwo' Wahyudi, Aismet, Eny, Masroh 'Acoh', Vina dan Ratna) bersedia aktif menemani hingga akhir kepengurusan Teknokra (beberapa diantaranya kemudian lulus di tengah kepengurusan), padahal hampir semuanya sudah kehabisan mata kuliah dan tinggal (juga sedang) mengerjakan skripsi. Asti bahkan rela 'turun jabatan' dari kapuslitbang dan bekerja dibawah kepemimpinan Berti. Keberadaan mereka membuat saya merasa tak sendiri dan berbesar hati, orang Sunda menyebutnya reugreug. Semoga pemilik bumi ini membalas kebaikan mereka.
Litbang
Di divisi litbang, Berti bersama timnya membuat desain alur kaderisasi yang berjenjang dari mulai magang hingga pengurus di setiap bidang dan divisinya. Membuat pelatihan bidang dan divisi (redaksi, usaha, litbang dan kesekretariatan). Sehingga jelas ilmu apa yang telah harus didapat oleh anak Teknokra di tiap levelnya.
Sistem rekrutmen tak mengalami banyak perubahan dengan tahun-tahun sebelumnya. Beberapa jenis tes tetap dipertahankan, seperti psikotes, tes bidang semisal keredaksian artistik dll, wawancara dan diskusi. Jika lulus tes, maka masa magang dijalani selama enam bulan sebagai magang secara umum, tak ada spesialisasi magang seperti magang reporter, magang fotografer, magang usaha dll.
Jadi semuanya dikenalkan pada semua bidang dan divisi, termasuk diwajibkan mengikuti pelatihan tiap bidang dan divisi, sehingga menjelang kelulusan akan terlihat kemana kecenderungannya untuk kemudian ditempatkan pada tiap bidang dan divisi. Namun satu hal yang wajib, semua magang Teknokra harus bisa menulis berita, sebab pada dasarnya semua pengurus di Teknokra adalah wartawan, meskipun ia berada di kesekretariatan misalnya, ia tetap dapat menulis.
Litbang juga membuat polling masalah intern dan umum, membuat diskusi dengan melibatkan lembaga aktivis mahasiswa di Unila, melakukan kajian wanita di Jumat siang.
Redaksi
Di bidang redaksi Tur membuat gebrakan dengan membuat code of conduct untuk wartawan Teknokra. Beberapa rekomendasi hasil mubes dijadikan pertimbangan untuk mendesain bidang redaksi selama satu tahun kepengurusan. Hasilnya, untuk Teknokra News (Teknews) ukuran lebih besar dengan 8 halaman (seukuran dengan Koran Tempo sekarang), sebelumnya Teknews berukuran A4.
Karena ukuran lebih besar maka isi berita diperkaya, ada penambahan beberapa rubrik baru misalnya saintek, sebaiknya anda tahu, opini, karikatur di halaman depan dan Pojok PKM di halaman belakang.
Pojok PKM adalah rubrik yang didesain sebagai kolom untuk pemum, pemred dan pemus. Secara bergantian ketiganya mengisi Pojok PKM. Ide dasarnya adalah tulisan ringan bermakna, esei semisal Catatan Pinggir Majalah Tempo, Resonansi Republika, atau Asal Usulnya Kompas yang dahulu sering diisi (alm) Hari Roesli.
Untuk kebijakan dan manajemen di bidang redaksi Tur juga membuat perubahan. Dalam hal struktural bidang redaksi misalnya, tidak ada lagi pemisahan struktur antara tabloid dan Teknews. Strukturnya adalah pemred, redaktur pelaksana (redpel), manajer online, redaktur, web designer, lay outer, reporter. Sehingga tak ada istilah redaktur tabloid atau redaktur teknews.
Setiap edisi Teknews diserahkan pada penanggung jawab (PJ) per edisi. PJ per edisi itu merupakan redpel atau redaktur yang memimpin rapat dan bertanggungjawab secara internal atas terbitnya edisi Teknews tersebut. PJ dirolling tiap edisinya secara bergantian.
Saat itu, untuk rapat budgeting kita menyebutnya dengan rapat proyeksi untuk Teknews dan job description (job desk) untuk tabloid. Pemred hanya memimpin rapat job desk, tidak pada proyeksi. Proyeksi Teknews diserahkan pada PJ.
Pasca cetak, baik Tabloid maupun Teknews dilakukan evaluasi terhadap hasil terbitan. Tabloid dipimpin oleh pemred, sementara Teknews dipimpin oleh PJ yang sesekali didampingi pemred untuk mengkritisi kekurangan.
Tur tak pernah menceritakan filosofi kebijakannya, tapi saya tahu ini adalah bentuk kaderisasi informal di bidang redaksi. Tur menyiapkan karakter pemred yang tangguh ke depan. Dan suatu saat dirinya harus pergi dari Teknokra, ada banyak calon pemred yang telah siap menggantikannya. Demikian juga dengan pemus, kapuslit dan kasekret, semuanya punya gaya masing-masing dalam hal kaderisasi informal.
Secara umum produk Teknokra di bidang redaksi ada tiga: tabloid, teknews dan Teknokra.com. Sebenarnya rekomendasi mubes adalah menggantikan bentuk tabloid menjadi bentuk majalah, sebuah perubahan yang ekstrem karena eksistensi tabloid merupakan bentuk mapan yang bertahan dari generasi ke generasi. Tabloid juga memiliki nilai historis yang panjang. Perdebatan panjang yang argumentatif dalam mubes akhirnya menyepakati perubahan dari tabloid ke majalah. Namun dalam perjalanannya bentuk majalah belum dapat direalisasikan karena persoalan SDM (Sumber Daya Manusia) yang belum siap. Bentuk majalah baru terealisir kemudian di era kepengurusan Abdul 'Ago' Ghafur, Pemimpin Umum Teknokra periode 2004/2005.
Jumlah edisi tabloid per kepengurusan ditentukan dalam mubes. Saya lupa jumlah persisnya sekitar 6 sampai 7 edisi saya kira. Sementara Teknews terbit dwi mingguan, dua minggu sekali.
Tabloid selalu bermula dari rapat job desk dan berakhir dengan evaluasi. Sebelumnya masing-masing anak Teknokra sudah mempunyai ide, tulisan apa yang akan 'diangkat' dalam rubrik-rubrik yang ada di tabloid. Saat job desk, 'perang' ide, argumentasi, perdebadatan dimulai. Semua rubrik yang ada di tabloid dibahas : laporan utama, sorotan, budaya, ekspresi dll. Apa yang mau ditulis dalam rubrik-rubrik tersebut. Satu rubrik memiliki banyak ide tulisan, masing-masing pengusul berjuang keras idenya diangkat menjadi tulisan. Biasanya pengusul kemudian menjadi penulisnya. Penulis yang ditunjuk kemudian membentuk tim liputan. Membagi tugas, siapa mewawancarai siapa. Setelah hasil wawancara dan semua data terkumpul, dituangkan dalam tulisan oleh penulis untuk kemudian diedit redaktur. Hasil editan redaktur kemudian diedit redaktur pelaksana hingga checking akhir pada pemred. Lay outer kemudian bertugas merampungkan tabloid hingga siap cetak. Pasca cetak, tabloid dievaluasi, dikritisi kekurangannya baik dari isi tulisan hingga bentuk tampilan.
Untuk Teknokra.com. (biasa disebut dengan tekom), dipercayakan kepada Ismet sebagai manajer online. Saat Ismet (nama aslinya Aismet, tanpa nama belakang) menjadi manajer online, domain
www.teknokra.com telah kadaluwarsa, expired. Ismet kemudian mencari nama domain lain dan akhirnya menemukan yang gratisan, www.teknokra.tk. Isi teknokra.tk adalah struktur kepengurusan, sejarah Teknokra, dan berita-berita Teknews juga tabloid yang timeless. Tekom pernah berjaya saat pertama kali launching di era kepengurusan Agus Sahlan Mahbub, dibidani oleh Erdi 'art' Muharam yang kemudian sempat diteruskan Sani Kurniawan.
Usaha
Ada satu perubahan struktur kepengurusan bidang usaha di Teknokra, penambahan sebuah unit, unit kreatif usaha yang dikomandoi oleh seorang kepala, membawahi seorang staf kreatif usaha. Secara umum struktur yang lainnya sama, di bawah pemus ada manajer keuangan, manajer usaha, staf keuangan, kepala pemasaran, kepala periklanan, staf pemasaran, staf iklan.
Dana operasional Teknokra pada dasarnya dibagi dua : dana penerbitan dan dana kemahasiswaan. Dana penerbitan teknokra didapat dari dana mahasiswa berlangganan teknokra yang pembayarannya dilakukan pada saat mahasiswa membayar SPP perkuliahan. Proses pencairannya dilakukan secara bertahap setiap Teknokra akan naik cetak. Saat itu total jumlah uang yang diamanahkan pada Teknokra sekitar Rp 70 juta per semester. Dana penerbitan khusus digunakan untuk biaya cetak dan biaya-biaya lain yang muncul sebagai proses penerbitan semisal transport wawancara, cuci cetak film dll. Menjelang akhir kepengurusan selalu dilakukan audit atas dana penerbitan oleh auditor dari luar teknokra sebagai bentuk akuntabilitas.
Sementara dana kemahasiswaan untuk teknokra saat itu sekitar Rp. 2,5 juta per semester. Dana ini diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan nonpenerbitan semisal Diporku Karma (Diklat penulisan opini dan resensi buku dan karikatur mading), PJMP (Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa tingkat Pengelola) dan biaya perjalanan anak Teknokra yang mengikuti diklat jurnalistik yang diadakan oleh pers mahasiswa lain di Indonesia.
Tentu saja dana tersebut tak cukup, untuk menanggulanginya biasanya dilakukan kerja sama dengan sponsor dan donatur dalam menyelenggaralan kegiatan Teknokra semisal PJMP.
Pelatihan-pelatihan.
Kegiatan non penerbitan yang akan dilakukan selalu ditetapkan dalam mubes sebelumnya. Di era kepengurusan kami, ada dua kegiatan non penerbitan yang dilaksanakan berdasarkan hasil mubes: Diporku Karma dan PJMP. Diporku Karma 'diketuplaki' oleh Abdul 'Ago' Gafur. Sementara PJMP diketuplaki oleh Ananta Dhani 'Boy'Hendrawan.
Ada konsep yang berubah dalam PJMP soal hal jumlah pembicara. Biasanya dalam PJMP yang sudah-sudah, jumlah pembicara yang dihadirkan selama kurang lebih empat hari bisa mencapai belasan. Pembicara PJMP di era kepengurusan kami hanya berjumlah tiga orang, yang berkompeten dalam bidang redaksi, usaha, dan litbang. Ide dasarnya agar peserta PJMP yang memang pengelola di lembaga pers mahasiswanya masing-masing lebih menguasai tiga bidang tadi lebih mendalam.
Saat itu pembicara yang dihadirkan adalah Andreas Harsono dari Yayasan Pantau, Anung Wendyartaka dari litbang Kompas dan Widi Yarmanto dari Majalah Gatra (Widi Yarmanto sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Majalah Gatra, sebelum kemudian di bidang usaha Majalah Gatra, saya lupa posisinya saat itu).
Sebelum PJMP dilaksanakan, saya dan Ismet berangkat ke Jakarta untuk mengomunikasikan konsep pelatihan. Kami transit di apartemen Andreas. Pagi kami bertemu dengan Anung di kantor Kompas, siang ke Majalah Gatra di Kalibata bertemu Mas Widi. Malam kami pulang lagi menuju Lampung, setelah merampungkan konsep pelatihan dengan Andreas. Andreas sempat request setting ruangan pelatihan.
Teknokra periode 2003/2004 juga mengirimkan krunya mengikuti diklat-diklat yang diadakan pers mahasiswa lain. Suwo dikirim ke Mataram, sementara Irma Novita dan Berti dikirim ke sebuah diklat jurnalistik di Bandung.
Teknokra periode 2003/2004 juga pernah bekerja sama dengan Majalah Gatra menggelar diskusi dengan tema Teror Atas Nama Agama, yang menghadirkan pembicara dari Mabes Polri. Kerja sama ini berawal dari tawaran Muhammad Yamin Panca Setia, Pemred Teknokra Periode 2003/2003 yang menjadi kontributor Majalah Gatra di Lampung.
Yamin ditawari pihak Majalah Gatra untuk menjadi pelaksana diskusi tersebut, Yamin kemudian menawarkan pada Teknokra sebagai pelaksananya. Eva menelpon saya yang masih berada di Rumah Sakit Serang untuk meminta persetujuan. Saya mengiyakan. Saat itu saya dirawat selama sebulan karena jatuh sakit saat mengikuti Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh ITB dan Seskoad di Gedung Asia Afrika, Bandung. Namun alhamdulillah pada hari penyelenggaraan seminar, saya sudah pulih kembali.
Seminar berakhir hingga sore hari sekitar pukul 15.00. Ada surplus yang didapat. Saya mengusulkan pada Eva membawa semua anak Teknokra untuk makan malam di Café Diggers. Café di Bandar Lampung dengan nuansa pemandangan Teluk Betung di bawahnya. Eva menerawang menghitung surplus, lalu mengiyakan. Saya hampir saja melupakan Yamin, jika Leni tak mengingatkan untuk mengajak Yamin ikut. Yamin juga tampak aneh sore itu, tak seagresif biasanya jika berhubungan dengan makanan, mungkin segan karena tak lagi sebagai pengurus Teknokra. Padahal Teknokra sudah lebih dari sekadar lembaga, Teknokra adalah adalah sebuah keluarga.
Di Diggers, sebelum memesan menu, Berti dan Wulan mengingatkan jatah makan per orang hanya Rp 15 ribu, selebihnya bayar sendiri. Semua sibuk mencari menu dibawah Rp 15 ribu, dasar kelakuan para Teknokers, prinsip ekonominya selalu dibawa kemana-ma. Widan 'Kiwil' bahkan sempat-sempatnya mandi di toilet Diggers.
Diggers memang sering dijadikan tempat peringatan ulang tahun angkatan saya masuk magang Teknokra 19 Februari 2000. Tapi biasanya saya dan (Alm) Herizon membawa minum air mineral kemasan dan kue semacam wafer Tango sendiri dari warung di luar Diggers. Maklum harga minuman dan makanan di dalam jauh berbeda dengan di luar. Lalu jika menu makan sudah datang, tangan kami sibuk berseliweran di atas meja, saling menawarkan dan mengambil, sehingga yang hanya memesan kentang goreng bisa juga merasakan burger, nasi goreng, spaggeti, roti bakar, meski tak utuh.
Tapi saya tak membawa wafer malam itu..…, ada banyak malam yang sulit dilupakan di Teknokra. Salah satunya malam itu. Malam indah dimana kami makan bersama dengan meja disusun memanjang, di bawah sinar bulan dan pemandangan kerlip lampu kota tua Teluk Betung, mengevaluasi kegiatan, berterima kasih pada Yamin, bersyukur pada penguasa alam atas keluarga yang unik ini. Teknokra.
Ferry Fathurokhman, Pemimpin Umum UKPM Teknokra Periode 2003/2004.
No comments:
Post a Comment