Telaah Kritis Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat
(Refleksi Kegagalan Perumusan Sebuah Kebijakan)
Oleh :
Ferry Fathurokhman
Medio 2007, sebuah koran lokal di Banten memuat berita kecil berbentuk straight news yang memberitakan seorang aktivis perempuan di Kabupaten Serang memprotes Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Serang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Berita tersebut menarik perhatian saya, sebab aktivis perempuan tadi mengatakan bahwa Perda yang dimaksud dinilai tak adil, diskriminatif. Ia menjelaskan misalnya, kenapa minuman keras yang mengandung alkohol dilarang dijual di warung-warung tapi tetap boleh beredar, dijual dan dikonsumsi di hotel berbintang. Hal tersebut dinilainya diskriminatif, seharusnya di hotel berbintang minuman beralkohol juga tak boleh beredar.
Saya kemudian mencari Perda yang dimaksud, Perda Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Perda tersebut pada dasarnya mengatur dua jenis penyakit masyarakat : Minuman keras, dan Pelacuran yang disatukan dalam satu ayat dengan perzinaan.
Sebelumnya perlu dijelaskan yang dimaksud minuman keras dalam perda tersebut adalah minuman yang mengandung alkohol dan atau segala jenis minuman yang dapat memabukkan sehingga mengganggu metabolisme tubuh dan mengganggu akal sehat.
Sementara pelacuran diartikan sebagai suatu bentuk pekerjaan untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan atau kegiatan seksual lainnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan atau materi.
Perzinaan didefinisikan sebagai hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atau sesama jenis di luar ikatan pernikahan, baik suka sama suka maupun secara paksa oleh salah satu pihak dengan adanya pemberian atau janji pemberian, baik yang dilakukan oleh yang berlainan jenis kelamin atau sama.
Saya membaca dan kemudian menemukan kejanggalan dalam Perda tersebut. Kejanggalan tersebut terletak pada ketidaksinkronan antara dasar konsiderans dengan batang tubuh Perda. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan adanya diskriminasi sebagaimana dimaksud aktivis perempuan di atas.
Konsiderans dalam Perda tersebut pada dasarnya memuat dua kategori : Nilai dasar yang menjadikan Perda tersebut dianggap penting untuk diundangkan, dan dasar yuridis yang mendasari lahirnya Perda Penanggulangan Penyakit Masyarakat tersebut.
Dalam kategori pertama, pertimbangan pertama perlunya Perda tersebut adalah dalam rangka mencegah semakin meluasnya perbuatan yang dapat merusak moral generasi muda dan untuk melindungi masyarakat dari berbagai ancaman gangguan kesehatan dan keresahan sosial sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Serang yang berwawasan global dan islami, maka perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan penyakit masyarakat di Kabupaten Serang. Pertimbangan kedua, bahwa dengan semakin meluas dan berkembangnya perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan norma susila yang pada gilirannya dapat menciptakan kerawanan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
Dalam konsiderans tersebut kita mengetahui bahwa visi dan misi Kabupaten Serang berwawasan global dan Islami. Pandangan global tersebut berkaitan dengan era globalisasi yang tidak bisa dihindari terutama mengingat Serang sebagai Ibukota Provinsi Banten yang harus siap menghadapi nilai-nilai universal yang masuk ke daerah. Sementara wawasan yang islami dikarenakan agama Islam memiliki akar yang kuat secara historis di Kabupaten Serang. Kesultanan Banten dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati (Cirebon) yang diamanahkan untuk menyebarkan agama Islam di Banten. Sultan Hasanuddin kemudian berhasil menyebarkan agama Islam di Banten dan mendirikan kesultanan (kerajaan) yang beralih dari generasi ke generasi termasuk didalamnya Sultan Ageng Tirtayasa, hingga akhirnya kesultanan Banten dihancurkan oleh Belanda karena sikapnya yang tak kooperatif dengan Belanda. Namun yang menjadi catatan bahwa dalam masa kesultanan tersebut agama Islam pernah hidup berkembang dan dijadikan pedoman dalam bermasyarakat di Banten. Sekarang kerajaan Banten hanya tinggal reruntuhan puing yang secara geografis berada di Kabupaten Serang (Sebelum ada pemekaran Kota Serang Tahun 2008). Serang juga memiliki banyak ulama yang dihormati, salah satunya adalah Syekh Nawawi Al Bantani yang dilahirkan di Tanara, Serang. Syekh Nawawi Al Bantani kemudian menetap di Mekkah dan dimakamkan di Ma'la, areal pekuburan di Mekkah dimana makam Siti Khadijah Istri Nabi Muhammad SAW berada. Hingga kini di daerah Serang dan wilayah Banten lainnya banyak dijumpai ulama dan pondok-pondok pesantren baik yang modern maupun tradisional.
Dasar historis Islam yang mengakar itulah kemudian yang menjadikan Serang diklaim sebagai daerah yang religius dan Islami (berwarnakan Islam). Sehingga wajar jika kemudian Kabupaten Serang memiliki visi dan misi sebagai daerah yang berwawasan islami (kata Islami tak sama dengan dengan Islam, Islam adalah kata benda, sementara islami adalah kata sifat. Sehingga islami dimaknai sebagai sesuatu yang 'berbau' islam, 'bercorakan/berwarnakan' islam. Maka kita dapat memberi contoh misalnya ada orang Jepang yang islami. Ini berarti meskipun orang Jepang tersbut bukan orang Islam, tetapi ia bersikap dan bertindak berwarnakan islam).
Nilai-nilai islami yang hidup dalam masyarakat itu tak lain adalah cita hukum masyarakat Serang. Sebagaimana kita ketahui bahwa cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diharapkan masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknanya (Prof Dr Esmi Warassih SH MS, 2005:43). Cita hukum ini oleh Hans Kelsen disebut sebagai Grundnorm atau Basicnorm.
Hingga pada batas cita hukum yang tertuang dalam konsideran, Perda Nomor 5 Tahun 2006 ini tak bermasalah. Masalah serius kemudian ditemukan dalam norma-norma hukum yang terkandung dalam batang tubuh Perda sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum.
Pada Bab III Pasal 5 tentang minuman keras terdapat ayat yang bertentangan dengan konsideran. Ini berarti norma hukum dalam perda tersebut bertentangan dengan cita hukum yang diantumkan di bagian konsideran.
Bunyi lengkap dari norma hukum yang bermasalah tersebut sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 1) Setiap orang atau kelompok dilarang mengonsumsi minuman keras yang mengandung kadar alkohol.
Ayat 2) Setiap orang, kelompok dan atau badan dilarang meracik, memproduksi, menyimpan / menjual / memperdagangkan / menyalurkan dan memberikan minuman keras sebagaimana dimaksud ayat (1)
Ayat 4) Perbuatan yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi hotel berbintang.
Jika konsiderans dalam Perda tersebut tidak mencantumkan kata berwawasan islami sebenarnya tak jadi masalah, namun Perda ini jadi salah karena pasal 5 ayat 4 tersebut bertentangan dengan konsiderans. Ini sama artinya dengan mengatakan bahwa dalam pandangan islam, terdapat pengecualian tentang minuman beralkohol, bahwa islam membolehkan minuman beralkohol diracik, diproduksi, disimpan, dijual, diperdagangkan, disalurkan dan diberikan di hotel berbintang. Ini sama juga artinya dengan mengatakan bahwa dalam islam terdapat disparitas perlakuan terhadap minuman beralkohol. Jika di warung-warung, di jalan, di masyarakat umum minuman keras beralkohol dilarang untuk diproduksi, diperdagangkan dan dikonsumsi, di hotel berbintang dibolehkan untuk memproduksi, memperdagangkan dan mengonsumsi minuman beralkohol. Orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup kemudian akan mendapatkan persepsi bahwa demikianlah hukum islam, dan hal tersebut menjadikan Perda ini memiliki kesalahan yang fatal dan menyesatkan. Padahal islam tidak pernah mengajarkan apa yang dipersepsikan dalam Perda tersebut.
Saya kemudian menelusuri dam menemui beberapa orang untuk membahas masalah ini. Prof. Suparman Usman, tokoh akademis dan pakar hukum islam di Serang mengatakan bahwa dalam islam disparitas itu ada dan dibenarkan, Syariah Islam tidak berlaku bagi orang yang bukan islam. Sampai batas tersebut saya menyepakatinya. Tetapi Syariah Islamkan tidak tak berlaku terhadap hotel berbintang. Yang dapat dikenakan pengecualian dalam hukum islam adalah orang yang bukan islam bukan hotel berbintang. Sehingga Perda tersebut tak akan bermasalah jika redaksional ayat 4 berbunyi "Perbuatan yang diatur sebagaimana dimaksud ayat (2) dikecualikan bagi orang yang bukan islam/non muslim. Atau Perda tersebut juga tak akan bermasalah jika tetap pada redaksional ayat 4 semula tetapi kata-kata islami dan ajaran-ajaran agama harus dihapuskan dari konsiderans sehingga menjadi Perda yang benar, yang tak bertentangan antara konsiderans dan batang tubuh, antara cita hukum dan norma hukum.
Saya menemukan satu paragraf yang sangat cocok dan tepat menggambarkan kondisi Perda di atas dalam bukum Prof Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, :
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan proses perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum ke dalam norma-norma hukum, sangat tergantung pada tingkat kesadaran dan penghayatan dari para pembentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini para pekabat dan wakil rakyat). Tiadanya kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut, akan menimbulkan kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang dibuat. Oleh sebab itu, dalam Negara Republik Indonesia yang memiliki cita hukum pancasila dan sekaligus sebagai norma fundamental negara, setiap peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam cita hukum tersebut (Prof Dr Esmi Warassih SH MS, 2005:45).
Apa yang terjadi pada Perda nomor 5 Tahun 2006 adalah kondisi sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di atas.
Penelusuran saya terhadap Perda bermasalah tersebut berlanjut, saya berkesempatan bertemu dengan Rakhmat Zuhri, Sekretaris Dewan Kabupaten Serang, namun jawaban atas Perda tersebut adalah Perda tersebut Perda yang tak bisa dieksekusi karena tak ada anggaran untuk melakukan razia-razia penyakit masyarakat dalam rangka menegakkan Perda tersebut. Padahal permasalahan utama bukan pada dapat tidaknya pengeksekusian Perda tersebut, namun pada benar salahnya subtansi Perda tersebut, dan ini sangat fundamental.
Pertanyaan saya atas Perda tersebut sampai pada bagaimana Perda tersebut dapat dilahirkan/diterbitkan? Di Kabupaten Serang alur umum yang terjadi dalam pembuatan sebuah Perda adalah bermula dari tingkat eksekutif, dalam hal ini SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait langsung dengan Raperda tersbut. Perda tentang penyakit masyarakat berkaitan dengan Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib), maka Dinas Trantiblah yang merumuskan draft raperda (dalam prakteknya dinas terkait dapat melibatkan tenaga ahli untuk turut membantu merumuskan raperda), setelah menjadi menjadi rumusan raperda diserahkan ke Bagian Hukum (dikepalai oleh seorang kepala bagian), di Bagian Hukum, rumusan tersebut dikritisi, jika dianggap penting untuk diterbitkan maka rumusan raperda tadi diserahkan pada DPRD untuk kemudian diagendakan pembahasan atas raperda tersebut untuk menjadi sebuah Perda.
Kita mengetahui bahwa dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, bukanlah hanya merupakan persoalan yuridis semata, tetapi juga melibatkan tahapan sosiologis, tahapan politis dan kemudian tahapan yuridis.
Apa yang terjadi pada Perda di atas sebenarnya sudah benar dalam tahapan sosiologis, menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan cita hukum. Namun Perda tersebut terdistorsi dalam tahapan politis sehingga mengakibatkan kesalahan dalam perumusan norma hukumnya, dalam tahap yuridisnya.
Kemungkinan yang terjadi dalam proses pembuatan Perda tersebut adalah kegagapan yang mengakibatkan kelupaan terhadap cita hukum manakala dihadapkan pada globalisasi dimana minuman beralkohol dalam hotel berbintang juga diperlukan sebagai sesuatu yang komplementaris dalam menarik investor di daerah Serang.
Perda tersebut pada akhirnya harus dibatalkan karena kesalahannya yang fatal. Perda-perda semacam inilah yang kemudian banyak dikategorikan, diklaim, didefinisikan sebagai Perda Syariat. Padahal jika kita telaah lebih dalam tak ada syariat di dalamnya, justru yang ada pada akhirnya menyudutkan dan menyalahi syariat itu sendiri. Persoalan ini adalah suatu masalah yang fatal dan serius yang harus diluruskan.
Hingga saat ini tak ada definisi baku tentang terminologi Perda Syariat. Perda Syariat kemudian diidentikan dengan Perda yang didalamnya terdapat kata islam, islami, ajaran agama dan sebagainya. Padahal setelah dilakukan kajian, tak ada syariat di dalamnya. Jika hal tersebut dilakukan tanpa disadari, maka itu hanya mengakibatkan kesalahan dalam sisi yuridis, namun jika hal tersebut dilakukan dengan kesadaran maka itu adalah sebuah kejahatan.
Jalaludin Rakhmat, akademisi Unpad, pernah mengkaji dan menemukan bahwa 'Perda-perda Syariat' tersebut hanya dijadikan komoditas politik sehingga terkesan Kepala Daerah menerima aspirasi masyarakat, padahal tak pernah ada niat untuk menggagas Perda Syariat itu sendiri. Jika memang itu yang terjadi maka saya rasa kepala daerah tersebut dan orang-orang yang mengetahui proses pembuatan Perda tersebut sepatutnyalah beristigfar, dan semua orang yang mengetahui diwajibkan untuk mengingatkan bahwa kita telah melakukan kesalahan dan bermain-main dengan Tuhan.
No comments:
Post a Comment