Saya beruntung punya teman seperti Ridwan (Sehari-hari saya memanggilnya Pak Ridwan, tapi dalam tulisan ini hanya Ridwan saja untuk menghindari ketidaknyamanan dalam membaca). Ridwan adalah kolega di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (FH Untirta). Ia orang Bojonegara, sebuah daerah di Kabupaten Serang yang terkenal penduduknya banyak memiliki ilmu teluh atau santet. Di Bojonegara juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bojonegara memang bersebelahan dengan laut. Ridwan terkenal di kampungnya. Kalau anda berdiri bersama Ridwan di Pasar Bojonegara, anda akan menyaksikan banyak orang yang menyapanya:sopir angkot, tukang uduk, bibi sayur. Orang tua Ridwan memang disegani di daerah ini.
Salah satu kenalan Ridwan adalah Dasuki, nelayan di daerah Bojonegara. Keduanya berkenalan dalam sebuah hobi yang sama, sepak bola, sejak pertemuan pertama keduanya klop dan makin akrab. Sudah lama Mazhab Pakupatan diajak mancing bersama menggunakan perahu Dasuki. Mazhab Pakupatan adalah sebuah komunitas yang terbentuk tanpa sengaja dalam sebuah acara pra jabatan. Komunitas yang tak kami buat serius, komunitas untuk melepas lelah dan penat, membicarakan persoalan-persoalan yang kami anggap tak baik dan benar.
Sabtu, 2 Agustus 2008, dua pekan lalu, akhirnya kami jadi mancing di Bojonegara setelah sekian lama tertunda. Abdul Hamid mengajak Okamoto, temannya dari Kyoto University. Okamoto kemudian mengajak Ukrist Pathmanand, dari Chulalongkorn University. Ukrist mendapat beasiswa dari Nippon Fellowship untuk menulis pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di negaranya, dikomparasikan dengan Indonesia. Ia telah mengunjungi Kontras dan KomnasHAM, waktunya tinggal di Indonesia tinggal satu bulan lagi. Ia memfokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara pada para aktivis. Kasus kematian Munir menjadi salah satu kajiannya.
***
Dasuki mulai menghidupkan mesin disel perahu kayunya. Mesin berisik itu tak pernah lagi diisi solar sejak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak). Solar terlalu mahal dijangkau para nelayan. Seliter solar sekarang harganya Rp 5.500,-. Kini minyak tanah menjadi pengganti solar. Minyak tanah murni, tanpa dicampur oli.
Perahupun berangkat. Kami bersembilan : Ridwan, Abdul Hamid, Anis, Okamoto, Ukrist, Jumpi (sopir Okamoto), Saya, Dasuki dan seorang ‘asisten’ nelayannya. Perahu melaju jauh ke tengah laut. Saya mulai mual, mabuk laut, satu hal yang jarang saya alami. Kebetulan Okamoto bawa tolak angin cair, saya ambil satu. Jumpi menyarankan saya memakan udang mentah yang menjadi umpan ikan untuk memancing nanti.
“Orang Makasar biasa nelen udang mentah biar gak masuk angin,” katanya meyakinkan.
Saya mengambil satu udang, mengupas dan mulai mengunyahnya. Rasanya aneh, menggelinyang di lidah, tenggorokan dan perut. Leeur istilah Sundanya. Hasilnya? Mual semakin menjadi. Dan saya mengistirahatkan badan, baringan di kapal. Tidur.
“Nggak biasa makan udang mentah coba-coba,” Ridwan meledek saya menjelang rebahan. Sebelumnya saya melihat ia juga makan satu udang mentah. Ridwan mantan nelayan, mungkin lidahnya sudah akrab dengan udang mentah.
Dasuki mematikan mesin. Kami sudah berada di tengah laut. Ada perahu lain yang juga sedang mancing di sekitar kami. Umpan dipasang, mancing dimulai. Saya yang pertamakali mendapat ikan tanpa sengaja. Saya bermaksud mengganti umpan khawatir sudah hilang dimakan ikan tanpa tersangkut. Seekor ikan kecil seukuran tiga jari rupanya tersangkut. Tak ada yang tahu nama ikan yang berhasil saya pancing. Tidak Ridwan. Tidak Dasuki. Saya kemudian menamakannya ikan mata belo karena matanya yang memang belo.
Lama tak kunjung dapat ikan, kapal kembali melaju. Kali ini kami mendekati bagan, bagan adalah sebuah konstruksi rangka bambu yang dipasang di tengah laut untuk menjaring ikan. Okamoto mendapat tiga ikan di sini : dua kakap merah dan seekor kirong/kerot (karena insangnya dapat mengeluarkan bunyi krot…krot, seperti sedang memanggil teman-temannya). Karena sepi kami berangkat lagi ke pertangahan laut. Kali ini Ridwan yang dapat ikan, seekor kurisi.
Hari mulai siang, zhuhur hampir tiba. Kami memutuskan menepi ke Pulau Panjang. Long Island. Dasuki punya kenalan seorang guru sekolah dasar di pulau ini. Pulau Panjang awalnya masuk dalam Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Namun sudah hamir satu tahun ini dialihkan menjadi masuk Kecamatan Pulo Ampel Kabupaten Serang, karena letak geografisnya yang lebih dekat ke Pulo Ampel. Pulau Panjang adalah pulau penghasil kelapa muda. Kami mampir ke Masjid, Zhuhur, cuci muka dan sebagainya, mampir ke kenalan Dasuki, minum teh, pamit dan membeli 20 butir kelapa muda milik tetangga kenalan Dasuki yang akan sudah dipanen dan akan dipasarkan ke Pasar Rau Serang. Harga perbutirnya Rp.1.000,-.
Ikan hasil pancingan dinilai belum cukup untuk makan siang sembilan orang yang doyan makan. Senjata pamungkas disiapkan. Jaring. Tawur istilahnya, menangkap ikan menggunakan jaring. Jaring diturunkan, mesin kapal dijalankan, perahu jalan melingkar menuju ujung jaring pertama diturunkan. Beraneka jenis ikan terjaring : belanak, udang, kerapu, baronang, todak, kacangan, ubur-ubur, ikan buntel, belut laut. Dasuki melepaskan belut laut. Warnanya hitam pekat seukuran ibu jari kurus saya. Kata Dasuki belut laut biasa menggigit.
Dua kali tawur dan ikanpun dirasa cukup. Sekarang ini jumlah ikan di laut semakin berkurang. Setahun lalu, saat tawur, banyak ikan yang nyangkut, sekarang sedikit berkurang.
(Dari kiri ke kanan: kerapu, baronang, kakap hitam, kacangan, todak (swordfish), kurisi, belanak, mata belo, kakap merah, kerot/kirong, belanak dan yang barisnya ngacak adalah juga belanak dalam kubur)
Salah satu kenalan Ridwan adalah Dasuki, nelayan di daerah Bojonegara. Keduanya berkenalan dalam sebuah hobi yang sama, sepak bola, sejak pertemuan pertama keduanya klop dan makin akrab. Sudah lama Mazhab Pakupatan diajak mancing bersama menggunakan perahu Dasuki. Mazhab Pakupatan adalah sebuah komunitas yang terbentuk tanpa sengaja dalam sebuah acara pra jabatan. Komunitas yang tak kami buat serius, komunitas untuk melepas lelah dan penat, membicarakan persoalan-persoalan yang kami anggap tak baik dan benar.
Sabtu, 2 Agustus 2008, dua pekan lalu, akhirnya kami jadi mancing di Bojonegara setelah sekian lama tertunda. Abdul Hamid mengajak Okamoto, temannya dari Kyoto University. Okamoto kemudian mengajak Ukrist Pathmanand, dari Chulalongkorn University. Ukrist mendapat beasiswa dari Nippon Fellowship untuk menulis pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di negaranya, dikomparasikan dengan Indonesia. Ia telah mengunjungi Kontras dan KomnasHAM, waktunya tinggal di Indonesia tinggal satu bulan lagi. Ia memfokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara pada para aktivis. Kasus kematian Munir menjadi salah satu kajiannya.
***
Dasuki mulai menghidupkan mesin disel perahu kayunya. Mesin berisik itu tak pernah lagi diisi solar sejak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak). Solar terlalu mahal dijangkau para nelayan. Seliter solar sekarang harganya Rp 5.500,-. Kini minyak tanah menjadi pengganti solar. Minyak tanah murni, tanpa dicampur oli.
Perahupun berangkat. Kami bersembilan : Ridwan, Abdul Hamid, Anis, Okamoto, Ukrist, Jumpi (sopir Okamoto), Saya, Dasuki dan seorang ‘asisten’ nelayannya. Perahu melaju jauh ke tengah laut. Saya mulai mual, mabuk laut, satu hal yang jarang saya alami. Kebetulan Okamoto bawa tolak angin cair, saya ambil satu. Jumpi menyarankan saya memakan udang mentah yang menjadi umpan ikan untuk memancing nanti.
“Orang Makasar biasa nelen udang mentah biar gak masuk angin,” katanya meyakinkan.
Saya mengambil satu udang, mengupas dan mulai mengunyahnya. Rasanya aneh, menggelinyang di lidah, tenggorokan dan perut. Leeur istilah Sundanya. Hasilnya? Mual semakin menjadi. Dan saya mengistirahatkan badan, baringan di kapal. Tidur.
“Nggak biasa makan udang mentah coba-coba,” Ridwan meledek saya menjelang rebahan. Sebelumnya saya melihat ia juga makan satu udang mentah. Ridwan mantan nelayan, mungkin lidahnya sudah akrab dengan udang mentah.
Dasuki mematikan mesin. Kami sudah berada di tengah laut. Ada perahu lain yang juga sedang mancing di sekitar kami. Umpan dipasang, mancing dimulai. Saya yang pertamakali mendapat ikan tanpa sengaja. Saya bermaksud mengganti umpan khawatir sudah hilang dimakan ikan tanpa tersangkut. Seekor ikan kecil seukuran tiga jari rupanya tersangkut. Tak ada yang tahu nama ikan yang berhasil saya pancing. Tidak Ridwan. Tidak Dasuki. Saya kemudian menamakannya ikan mata belo karena matanya yang memang belo.
Lama tak kunjung dapat ikan, kapal kembali melaju. Kali ini kami mendekati bagan, bagan adalah sebuah konstruksi rangka bambu yang dipasang di tengah laut untuk menjaring ikan. Okamoto mendapat tiga ikan di sini : dua kakap merah dan seekor kirong/kerot (karena insangnya dapat mengeluarkan bunyi krot…krot, seperti sedang memanggil teman-temannya). Karena sepi kami berangkat lagi ke pertangahan laut. Kali ini Ridwan yang dapat ikan, seekor kurisi.
Hari mulai siang, zhuhur hampir tiba. Kami memutuskan menepi ke Pulau Panjang. Long Island. Dasuki punya kenalan seorang guru sekolah dasar di pulau ini. Pulau Panjang awalnya masuk dalam Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Namun sudah hamir satu tahun ini dialihkan menjadi masuk Kecamatan Pulo Ampel Kabupaten Serang, karena letak geografisnya yang lebih dekat ke Pulo Ampel. Pulau Panjang adalah pulau penghasil kelapa muda. Kami mampir ke Masjid, Zhuhur, cuci muka dan sebagainya, mampir ke kenalan Dasuki, minum teh, pamit dan membeli 20 butir kelapa muda milik tetangga kenalan Dasuki yang akan sudah dipanen dan akan dipasarkan ke Pasar Rau Serang. Harga perbutirnya Rp.1.000,-.
Ikan hasil pancingan dinilai belum cukup untuk makan siang sembilan orang yang doyan makan. Senjata pamungkas disiapkan. Jaring. Tawur istilahnya, menangkap ikan menggunakan jaring. Jaring diturunkan, mesin kapal dijalankan, perahu jalan melingkar menuju ujung jaring pertama diturunkan. Beraneka jenis ikan terjaring : belanak, udang, kerapu, baronang, todak, kacangan, ubur-ubur, ikan buntel, belut laut. Dasuki melepaskan belut laut. Warnanya hitam pekat seukuran ibu jari kurus saya. Kata Dasuki belut laut biasa menggigit.
Dua kali tawur dan ikanpun dirasa cukup. Sekarang ini jumlah ikan di laut semakin berkurang. Setahun lalu, saat tawur, banyak ikan yang nyangkut, sekarang sedikit berkurang.
(Dari kiri ke kanan: kerapu, baronang, kakap hitam, kacangan, todak (swordfish), kurisi, belanak, mata belo, kakap merah, kerot/kirong, belanak dan yang barisnya ngacak adalah juga belanak dalam kubur)
Asisten Dasuki menyalakan kompor minyak tanah yang dipompa, menggunakan tabung petromak, seperti kompor yang biasa digunakan oleh tukang mie ayam. Ikan digarang diatas tutup panci yang dipukul datar. Nasi telah dimasak sebelumnya, diliwet. Dasuki meracik sambal, potongan cabe rawit, bawang merah, dicampur saos sambal dan kecap. Semua siap. Makan dimulai di atas perahu. Piring terbatas. Anis punya ide aneh menggunakan belahan batuk kelapa muda. Saya mencontek ide Anis. Ukrist senyum-senyum melihatnya.
(Ikan buntel, di film Spongebob digunakan sebagai karakter Mrs. Puff, guru les menyetir Spongebob)