Selasa, 8 April 2008, menjelang magrib.
Saya berada di dalam rumah tahanan (rutan), di ruangan polisi khusus rutan. Ruangannya sama seperti kantor pada umumnya. Ada meja kerja berikut kursi dengan disain huruf U, televisi 20 inci, white board besar berisi data penghuni rutan. Ada juga ruangan kecil berukuran 2,5x2,5 meter dalam ruangan tersebut, biasa dipakai untuk membuat kopi dan minuman, juga untuk sholat. Ada kalender dengan tanggalan yang dicoret seperti menghitung hari kebebasan, sepertinya coretan seorang tamping (warga rutan yang biasa dipekerjakan di rutan karena telah menjalani 2/3 masa hukumannya. pen). Ada juga gambar-gambar perempuan berbikini diselipkan di kaca meja.
Sambil menunggu serah terima apa dan pak Rivai kami isi waktu dengan ngobrol tentang kejadian hari ini. Ada apa, pak Rivai, A Iyang, Peppy, Dewi dan Yudi (Putri dan menantu Rivai), dua penasehat hukum : Efran dan Gusti, teman-teman kantor apa, tante Kristin, bu Emi, mang Gema di ruangan itu. Telepon genggam Pak Efran berbunyi, ia mengangkatnya, bicara beberapa kalimat pelan. "Bapak (Haji Hasan) mau ke sini," katanya setelah selesai menerima telepon.
Tak lama kemudian Haji Hasan datang. Masih berpiyama dengan celana kain santai panjang bersendal. Jalannya lambat dan sedikit kesulitan. Dua orang pengawalnya mendampingi dengan hati-hati. Yang satu cepak militer, tak begitu berotot, sepertinya dari kopasus, menenteng tas kecil hitam. Satu lagi berkumis, berkulit putih, terlihat sangat sipil tapi bersikap militer, siap dan tegap. Ia selalu berdiri disaat yang lain duduk, meski ada kursi kosong tersisa.
Haji Hasan menunjukkan simpatinya. "Ini negara jahiliyah, harus kita lawan ini," katanya mengawali. "Dua orang inimah nggak salah, seperak dipotong tujuh juga nggak dapet uangnya. Malah pemda kan masih utang, jalan itu belum lunas," paparnya. "Coba telepon Atut," lanjutnya.
Pengawal sipil tadi memencet nomor telepon. Bicara sebentar dengan seseorang di ujung telepon dan kemudian memberikan telepon pada Haji Hasan.
"Linda pak," katanya.
"Lin, Ibu mana,?" tanya Haji Hasan.
"Rapat dengan siapa? Bilangin gitu, ini Aman Sukarso dengan Rivai ditahan, tinggal saya yang belum ditahan, bilangin gitu ya," tutupnya.
"Saya kenal betul Aman Sukarso, orang lama ini. Pak Rivai ini orang tuanya pejuang 45."
"Besok saya ke Kajati," katanya
"Ini tidurnya gimana fran, dimana tidurnya, jangan dibarengin yang lain," katanya lagi.
"Sudah pak, sudah disiapkan," kata Efran.
"Ya tidurnya di dalem Pa Haji, sekarang mah sudah disini, minta doanya, dibantosan," kata apa.
"Besok saya ke Kajati," Haji Hasan menangis.
Suasana hening sejenak.
"Kita inikan ngebangun Banten, kejaksaan tahu apa, datang ke sini ngacak-ngacak, Staisman saya bangun, 3 milyar itu," katanya lagi.
"Iya bapak ini memikirkan banten, bagaimana orang banten ke luar negeri nggak jadi pembantu tapi punya keahlian," Efran menjelaskan visi Haji Hasan.
"Ini Ferry, putra Pak Aman juga jadi dosen di Untirta pa," Efran mengenalkan saya.
"Saya Ferry pa Haji," angguk saya.
"Untirta juga jadi negeri saya yang urus ke Jakarta," katanya lagi.
Haji Hasanpun pulang pamit.
"Kamu urusin ini Fran," titipnya
Jalannya perlahan keluar, pengawal mendampinginya. Efran, Gusti, saya, mengikuti di belakangnya. Sebuah Toyota Landcruiser A 45 HC telah bersiap di luar gerbang. Haji Hasan duduk di kursi depan. Ada gagang terbungkus koran menyembul di keropak pintu mobil.
"Yang dibungkus koran itu golok Fer," bisik Pak Gusti
"Iya." kata saya.
Dan tas hitam kecil yang selalu dibawa lelaki cepak itu, saya yakin isinya pistol. Saya tahu daftar nama orang sipil di Banten yang memiliki senjata api berbentuk pistol. Haji Hasan satu-satunya orang sipil yang memiliki izin berpistol dengan peluru tajam di Banten, sisanya peluru karet. Biasanya jenis Hunter buatan Belgia. Tapi saya tak hapal jenis pistol Haji Hasan. Saya menangkap kesan tanggungjawab Haji Hasan sore ini. Tapi saya belum tahu, perjalanan masih panjang, semoga saja.
No comments:
Post a Comment