Selasa 8 April 2008, 16.05, surat perintah penahanan tiba di ruang staf aspidsus, saya menandatangani tanda terima surat tersebut. Yunan mengingatkan telepon genggam apa yang masih melekat di ikat pinggangnya agar dititipkan pada saya. “Nantilah di rutan,” saya setengah menghardiknya. Terus terang saya kecewa melihatnya, ia menunjukkan keangkuhannya. Penahanan ini menumbuhkan tanda tanya besar.
Apa dan Ahmad Rivai keluar didampingi petugas kejaksaan yang akan mengantar ke rutan, saya, A’Iyang, Dewi dan Yudi (Anak dan menantu Rivai) juga kedua pengacara menyusul di belakang. Diluar, banyak wartawan sudah bersiap, mengambil foto. Saya mengkhawatirkan psikis apa. Reputasi, dedikasi, nama baik dan sikap kooperatifnya dalam setiap pemeriksaan selama ini dihancurkan kejaksaan begitu saja. Kejaksaan menagabaikan dan menodai asas praduga tak bersalah. Apa tegar, ia tak menutupi wajahnya, demikian juga Ahmad Rivai, terus berjalan hingga masuk ke dalam mobil tahanan jenis kijang. Mobil pun melesat cepat, saya mengikuti di belakang.
Hati saya menangis, marah dan bergemuruh dalam tiap langkah. Otak saya terus berputar, kenapa ditahan? KUHAP yang dianggap “maha karya” bangsa ini telah ditafsiri seenak perutnya. Alasan KUHAP satupun tak terpenuhi dan Yunan kemudian berlindung di alasan subjektif juga kewenangan Kajati. Semuanya terlihat disetting. Mobil tahanan yang sudah bersiap, banyaknya wartawan, surat perintah penahanan yang tergesa-gesa yang meninggalkan sebuah cela, Aspidsus Yunan yang tampak jelas tak memahami pokok perkara namun terlihat begitu berambisi melakukan penahanan. Kenapa? Ada apa?
Sepekan kemudian pertanyaan itu terjawab. Harlans M Fachra, Konsulat GeRAK Indonesia yang pernah menjadi Ketua West Java Corruption Watch (WJCW) sebuah NGO yang berpusat di Bandung mengabarkan bahwa pernah mendapat sms dari kejaksaan di wilayah kerjanya yang intinya meminta kasus korupsi yang ada di WJCW. Saya ceritakan kasus posisi PIR, ia menemukan kejanggalan, orang awampun bisa melihat kejanggalan ini, dan kejagungpun menemukan keanehan kasus ini. Keanehan yang kini jadi obrolan warung kopi. “Nggak beres kalo urusannya pencitraan,” ucap Harlans. Iapun meneruskan obrolan ini pada kawan-kawan lainnya.
Pencitraan! That’s all about. Ini semua tentang pencitraan kejaksaan yang semakin terpuruk pasca penangkapan ketua tim jaksa kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh KPK. Disusul dengan dinonaktifkannya JAM Pidsus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan M Salim. Kejagung menargetkan penyelesaian kasus korupsi masing-masing 5 (lima) kasus untuk tiap kejati dan 3 (tiga) kasus untuk kejari dalam setahun sebagai upaya pemulihan nama baik kejaksaan. Kegupekan kejaksaan ini semakin sinkron dengan oleh-oleh kurma ajwa, air zam-zam dan sebuah cerita dari Hj Herni, bendahara Korpri yang baru pulang umroh, sebelumnya ia pamit dan kami titip do'a agar orang-orang bisa melihat kasus ini dengan jernih dan hatinya dibukakan. Hj Herni bertemu dengan istri Bupati Semarang dan menceritakan kasus apa. Rupanya Bupati Semarangpun 'dimintai' kasus oleh kejaksaan setempat, hal yang sama diceritakan WJCW.
Tapi ketika Yunan memaksakan kasus ini dan menyarankan kepada kajati untuk dilakukan penahanan, maka ia telah menuliskan kesalahan fatal dalam rekam jejak dunia akhiratnya. Alih-alih membuat pencitraan nama baik, justru akhirnya ia menodai citra kejaksaan itu sendiri dan membuatnya semakin terpuruk. Koran Banten (mingguan yang berkantor di PWI) menuliskan banyaknya penangguhan yang diajukan elemen masyarakat sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada kejaksaan. Lembaga kejaksaan (Kejati Banten .pen) kemudian dipandang aneh, janggal, memaksakan dan jadi bahan obrolan sehari-hari di Serang. Bambang, aktivis Partai Syarikat Islam yang sempat bertemu dengan saya mengabarkan kasus ini telah jadi obrolan warung kopi, semua orang tahu duduk perkara kasus ini. MUI Kota Serang, KONI Serang dan Propinsi, Korpri Serang, DPRD Serang, TTKDH, keluarga, Ketua RT 01/03 Cipocok Jaya dibuat bingung kejaksaan ketika penjaminannya terhadap Aman Sukarso ditolak. Pada akhirnya kami mengerti, bahwa kejaksaan melalui kajati berdasarkan saran dari bagian pidana khusus terlanjur mengambil langkah gegabahnya dan tak mungkin menariknya kembali. Kebingungan kini beralih pada kejati ketika rencana dakwaannya diminta direvisi dan diperbaiki oleh kejagung saat ekspose kasus karena pemborongnya tak diungkap. Kini antara Polda dan Kejati saling lempar, kebingungan. Masyarakatpun melihat kejanggalan kejati yang segera memP21kan (mengganggap lengkap berkas perkara) kasus ini dan mengorbankan Aman Sukarso yang orang banyak tau alur ceritanya. Orang awampun bisa melihat parsialnya kasus ini, apalagi kejagung. Kajatipun mau tak mau pada akhirnya harus melindungi stafnya yang ceroboh mengejar target—dalam bahasa obrolan warung kopi mencari poin untuk promosi. “Tanpa mengurangi rasa hormat, permohonan penangguhan penahanan itu tak saya kabulkan, karena saya harus konsistens dengan sikap dan keputusan saya sebelumnya,” kata Lari Gau (Radar Banten, 12 April 2008)
No comments:
Post a Comment