(foto diupload dari qizinklaziva.files.wordpress.com)
Oleh Ferry Fathurokhman*
Beberapa hari lalu seorang mahasiswa hukum menghampiri saya. Ia baru saja mengikuti acara yang dihadiri calon anggota legislatif Kota Serang di Auditorium Untirta. Ia memandang pesimis pada seluruh anggota legislatif Kota Serang. ”Pembentukkan Kota Serang aja belum tentu hasil keinginan warga Kota Serang,” ujarnya apatis. Ia—saya tak menyebut namanya dari tadi, karena jika saya sebutpun belum tentu anda mengenalnya—tak sepenuhnya salah, bahkan boleh jadi mendekati benar. Mari kita ambil contoh lagi tentang apatisnya masyarakat umum terhadap terbentuknya Kota Serang. Sekitar tiga bulan lalu, mang Didi—kalau yang ini saya sebut, karena ia orang penting, warga Kota Serang, yang selama ini diatasnamakan untuk membentuk Kota Serang—tetangga sekaligus saudara saya, bersama tetangga lainnya ngobrol tentang Kota Serang. ”Lah, Serang jadi kota, wali kotanya siapa juga nggak penting, yang penting mah urang kerja tenang, harga teu naraek, anak bisa sarakola,” katanya. Didi punya keahlian las karbit. Tapi sejak hampir setahun ini ’pasiennya’ semakin tak tentu sejak kontrak ’kantornya’ tak diperpanjang. Ia tak kuat membayar sewa gudang yang dijadikan bengkel lasnya. Masih banyak ‘Didi-Didi’ lain di Kota Serang ini, mungkin jumlahnya ratusan, tapi perlu survei khusus untuk lebih validnya.
Tapi saya tak mengatakan jika terbentuknya Kota Serang ini tanpa dukungan masyarakat, sebab dukungan masyarakat, LSM dan stakeholder lainnya adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk pemekaran daerah. Bahkan dukungan LSM, nama-nama masyarakat dan dokumen lainnya ada tersimpan di sudut kamar baca saya. Saya mengikuti perkembangan pemekaran Kota Serang sejak dikaji oleh PKP STPDN yang dikepalai Prof Sadu Wasistiono.
Persoalannya adalah apakah keinginan pembentukkan Kota Serang berangkat dari elite politik (top down) atau keinginan murni masyarakat (bottom up)? Ini penting, karena akan berpengaruh pada berhasil atau tidaknya daerah otonom baru tersebut. Sebagian besar kegagalan berkembangnya pembentukkan daerah otonom baru adalah karena berasal dari kepentingan elit politik semata. Sebab akan banyak masalah yang timbul, perebutan kursi legislatif, penyerahan aset antara daerah otonom induk dengan daerah otonom baru, perebutan kursi kepala daerah dan lain-lain. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita lihat dan evaluasi seluruh daerah otonom yang telah terbentuk dan hampir dinyatakan gagal melaksanakan otonomi daerah.
Agar lebih ilmiah mari kita lihat data yang ada (bukan berarti obrolan dengan warga tidak ilmiah, bahkan sangat ilmiah karena merupakan data primer, ini agar kita lebih yakin saja). Jika dihitung, sejak tahun 2000 hingga 2007 pemekaran daerah telah mencapai 173 daerah otonom baru dengan perincian 7 Propinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota. Sehingga kini terdapat 473 daerah otonom. Bahkan, kini telah menunggu di DPR 48 RUU baru pemekaran, termasuk 12 RUU yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR(Kompas, 30/1/2008).
Sebelum PP 129 tahun 2000 diterbitkan, hanya ada 336 kabupaten/kota dan 27 propinsi. Kini daerah otonom mencapai 444 kabupaten/kota dan 33 propinsi, sehingga totalnya menjadi 477 daerah otonom (ada perbedaan data antara Kompas dan Depdagri, selisih 4 daerah otonom, ini wajar, soal up to date, mengingat derasnya pengajuan pemekaran daerah, sehingga angka-angka cepat berubah, silahkan telusuri lebih lanjut.pen). Saat jumlah daerah otonom baru mencapai angka 108, depdagri melakukan evaluasi. Dari 108 daerah otonom baru tersebut baik kabupaten atau kota, sebanyak 70 daerah kabupaten/kota tak mengalami kemajuan berarti bahkan banyak yang mengalami kemunduran dan membebani daerah induknya. Ini berarti menembus angka 70% lebih. Dan jika nanti dianggap tak mampu menjalankan otonomi daerah, kelak daerah bermasalah tersebut akan dilebur dan digabungkan.
Bagaimana dengan Kota Serang? Sebetulnya berasal dari aspirasi siapa uwong elite atau uwong alit? Pertanyaan ini yang sempat tertunda ini sebetulnya tak penting lagi kini. Tapi saya ingin merefleksikan kembali masa sebelum Kota Serang terbentuk. Ada kelucuan yang terjadi. Saat itu yang selalu digaungkan adalah bahwa Kota Serang harus segera dibentuk karena merupakan amanat undang-undang pembentukan Propinsi Banten bahwa Ibu Kota Propinsi Banten harus berbentuk kota. Bagi orang yang membaca undang-undang pembentukkan Propinsi Banten pasti akan tersenyum geli, sebab ada pembohongan publik yang lucu. Pasal 7 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukkan Propinsi Banten menyebutkan bahwa Ibu Kota Banten berada di Serang. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan di Serang adalah di wilayah Kabupaten Serang. Ini berarti, sekarang seharusnya Ibu Kota Banten pindah domisilinya di luar Kota Serang, sebab undang-undangnya mengatakan demikian, berada di wilayah Kabupaten Serang. Atau redaksi undang-undangnya yang harus direvisi sehingga Ibu Kota Propinsi Banten berada di Kota Serang. Atau tidak usah diapa-apakan, toh banyak undang-undang yang tak berjalan bahkan bertabrakan, ya maklum saja, seperti yang pernah ditulis Muhyi Mohas di harian ini, yang sedang jadi panglima di negeri ini politik bukan hukum. Persoalan hukum ini pernah diingatkan dulu di harian ini awal 2007 dan di sebuah kantor partai politik dalam sebuah presentasi tentang Kota Serang. Maka gaung menyejahterakan warga Kota Serang lebih menguat saat itu dan gaung amanat undang-undang pembentukkan Propinsi Banten menghilang perlahan.
Kini, hal-hal lucu tadi tak lagi penting. Persoalan dan tantangannya sekarang adalah bagaimana caranya menyelamatkan Kota Serang dengan betul-betul berkomitmen untuk menyejahterakan warganya. Maka seharusnya tak perlu ada adu jotos para calon anggota dewan atau perseteruan antara kabupaten induk dan daerah otonom baru. Seharusnya kabupaten induk membimbing ‘anaknya’, duduk bersama dalam musyawarah, misalnya menentukan aset apa yang secara bertahap akan diserahkan untuk Kota Serang dan mana yang tetap untuk kabupaten induk. Sebab jika masih ada perseteruan maka kita tak beda dengan Kota Bima misalnya yang sejak terbentuk, lama berseteru soal penyerahan aset hingga Kota Bimapun lambat bergerak maju. Padahal jika dihitung berdasarkan hasil kajian STPDN, jika berjalan sesuai rencana dan dikelola dengan baik dan benar maka Kota Serang nanti akan relatif lebih mudah menyejahterakan warganya. Sehingga tak ada lagi warga Serang yang kesulitan bekerja seperti mang Didi saudara saya juga Didi-Didi lainnya nanti. Waallahu alam bi showab.
* Dosen FH Untirta, Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan anggota Mazhab Pakupatan.
** Dimuat di Radar Banten 23 Februari 2008
No comments:
Post a Comment