Memberantas Korupsi dengan Korupsi
-Catatan untuk peringatan Hari Antikorupsi Internasional-
Ferry Fathurokhman*
Tanggal 9 Desember 2003 telah menjadi hari bersejarah bagi dunia internasional juga Indonesia tak terkecuali. Hari itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Convention Againts Corruption) ditandatangani oleh 133 negara di Merida , Meksiko. Kita telah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi tersebut dengan Undang undang nomor 7 tahun 2006. Korupsi telah menjadi musuh dunia internasional. Dalam konteks Hukum Pidana Internasional, korupsi merupakan tindak pidana internasional. Cherif Bassiouni, pakar Hukum Pidana Internasional, membuat tiga unsur untuk mengategorikan sebuah tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional. Unsur internasional, transnasional, dan necessity (kebutuhan untuk melakukan kerja sama dengan negara lain). Dalam unsur internasional salah satu yang terpenting adalah bahwa tindak pidana tersebut haruslah mengandung unsur shocking to the conscience of humanity (menggoyahkan perasaan kemanusiaan) . Korupsi telah memenuhi unsur tersebut. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, menggoyahkan dan melukai perasaan kemanusiaan.
Indonesia memiliki prestasi yang luar biasa dalam hal korupsi. Kita tercatat sebagai the big ten negara terkorup. Program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) yang dibentuk oleh Bank Dunia dan PBB menempatkan mantan presiden kita Soeharto sebagai mantan presiden yang mencuri uang rakyat di urutan pertama dari 10 negara. Sembilan negara di bawah kita telah menyatakan para mantan presidennya bersalah. Hanya Indonesia yang belum menyatakan bersalah. Bahkan dalam kasasi perkara Soeharto versus Majalah Time, Mahkamah Agung memenangkan Soeharto dan menghukum Time membayar 1 Triliun rupiah kepada Soeharto. Time sebelumnya dalam sebuah edisi menyimpulkan Soeharto sebagai koruptor. Yang menggelikan dan memalukan, data yang dipakai Time untuk menyimpulkan Soeharto korup adalah data yang sama dengan yang digunakan Bank Dunia dan PBB dalam program StAR. Data tersebut diperoleh dari TI (Transparency International), sebuah NGO (Non-Governmental Organisation) internasional yang dikenal teliti dan rutin melakukan riset.
Memberantas Korupsi
StAR bukanlah program yang bertujuan untuk memojokkan suatu negara. Tujuan utama program itu adalah membantu negara yang bersangkutan untuk mendapatkan kembali uang rakyat yang telah dikorupsi. Permasalahannya adalah ada tidaknya kemauan kuat dari pemerintahan kita untuk mengambil kembali aset yang dicuri tersebut. Sebab negara yang berkepentinganlah yang harus aktif. StAR hanya membantu beberapa hal teknis yng diperlukan saja, misalnya pelatihan penelusuran harta yang dicuri dan menghubungi Bank- Bank Eropa dimana uang yang dikorupsi itu disimpan. Namun StAR hanya akan membantu jika ada kemauan kuat (willingness) dari kita. Permasalahannya kita punya ‘pekerjaan rumah’ besar tentang kemauan yang kuat.
Untuk memberantas korupsi kita membutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat. Polisi-polisi, jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang baik.
Kita memang memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang relatif lebih baik untuk diharapkan yang saat ini baru saja terpilih setelah menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ). Namun beberapa keterbatasan KPK seperti masa kerja dan daya jangkau yang terbatas menjadi kendala tersendiri.
Pada akhirnya harapan kita ada pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) untuk memberantas korupsi. Namun berbagai peristiwa dan perilaku tercela yang melibatkan aparat penegak hukum membuat harapan dan agenda pemberantasan korupsi menjadi suram. Penyalahgunaan wewenang jabatan menjadi modus umum yang sering dilakukan. Hasil survei TII (Transparansi Internasional Indonesia)—sebuah NGO cabang dari TI—menunjukkan legislatif, polisi, dan sistem hukum/peradilan sebagai lembaga terkorup. Sistem peradilan disini termasuk di dalamnya adalah kejaksaan dan pengadilan. Ketiga lembaga tersebut dianggap paling korup dalam persepsi masyarakat. Meski hasil survei tersebut sempat dikritik Kepala Polri Jendral Polisi Sutanto, namun pada akhirnya ia berterima kasih karena survei itu akan memacu kinerja jajarannya.
Beberapa kasus dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat penegak hukum pernah diekspos di media. Pada tahun 2000 pernah muncul kasus yang menggemparkan Mahkamah Agung. Adalah Endin Wahyudin yang melaporkan para Majelis Hakim di Mahkamah Agung yang menangani perkara kasasinya, M. Yahya Harahap, SH, Ny. Marnis Kahar, SH, Ny. Supraptini Sutarto SH, ke Ketua TGPTPK Adi Andojo atas dugaan korupsi—dalam hal ini dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempat an atau sarana yang ada padanya karena jabatannya. Endin mengaku memberikan uang pada ketiga majelis hakim tadi masing-masing 50 juta rupiah untuk memenangkan perkara perdata yang sedang ditanganinya sebagai kuasa hukum para ahli waris. Perkara Endin dimenangkan, namun tak bisa dieksekusi, akhirnya Endin melaporkan peristiwa penyuapan tersebut. Marnis dan Supraptini kemudian mengadukan Endin ke Mabes Polri dengan tuduhan “pencemaran nama baik” pada Agustus 2000. Kasus ini dikupas tuntas oleh Harkristuti Harkrisnowo Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia dalam jurnal dictum edisi 1, 2002.
Di kalangan kejaksaan indikasi korupsi juga terjadi. Sebanyak tujuh kajari dicopot dari jabatannya oleh Kejaksaan Agung. Sebagian besar diduga kuat menerima suap dalam perkara korupsi yang ditanganinya, sedangkan satu orang kajari diduga berselingkuh di rumah dinasnya. Kepala Kejaksaan Agung, Hendarman Supanji sejak April 2007 memang berkomitmen untuk membersihkan kejaksaan dari perilaku tercela dan tidak profesional.
Di kepolisian kita menemukan Komisaris Jendral Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri tahun 2004-2005. Landung ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam perkara pembobolan Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu yang sedang ditanganinya.
Kasus-kasus di atas hanya beberapa saja dari kasus yang terjadi dan diekspos di media massa . Peristiwa ini hanyalah fenomena ‘gunung es’ saja. Layaknya anak Gunung Krakatau yang sedang aktif, yang terlihat hanyalah di permukaan laut saja, sementara di bawah permukaan laut masih lebih besar lagi. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa aparat penegak hukum bisa melakukan korupsi? Mengapa korupsi diberantas dengan korupsi pula? Statement dari Lord Acton setidaknya bisa menjelaskan pertanyaan ini.
Sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) pernah berujar “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup. Maka siapapun yang diberikan kekuasaan, ia memiliki potensi besar untuk korupsi. Pejabat publik yang memungli proyek, dosen yang menjual nilai, demikian juga dengan aparat penegak hukum : polisi, jaksa dan hakim, ketiganya diberikan kekuasaan dan karenanya memiliki potensi besar untuk korupsi. Dalam bahasa hukum, kekuasaan tadi diejawantahkan dalam bentuk kewenangan. Polisi, jaksa dan hakim diberi kewenangan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) terhadap tersangka ataupun terdakwa. Jika dicermati dari kasus-kasus yang telah terjadi di atas ataupun yang lainnya, modus yang sering dilakukan biasanya terjadi dalam proses penetapan status tersangka, penahanan, substansi Berita Acara Pemeriksaan, dakwaan dan tuntutan juga vonis hakim. Atau modus lain misalnya dengan ‘memainkan’ seorang pejabat publik baik itu gubernur, wakil gubernur atau wakil bupati yang karena ketentuan undang-undang dibutuhkan izin presiden untuk dapat memeriksa si pejabat publik tadi. Surat permohonan izin pemeriksaan tadi merupakan kewenangan penyidik yang juga berpotensi untuk disalahgunakan. Negosiasi yang terjadi adalah diajukan atau tidak diajukannya surat permohonan pemeriksaan.
Dalam prakteknya, kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum semacam ini akan terungkap ketika ada whistle blower yang ‘bersuara’. Whistle blower bisa dari kalangan mana saja, orang yang muak dan gerah melihat korupsi, orang yang tak kebagian korupsi atau tersangka yang ‘digarap, digoreng’ hingga ‘kering’. Kategori yang ketiga ini yang kemudian dalam prakteknya sering bersuara. Karena sebagai manusia ia punya hati yang juga dapat kelelahan ketika diperas tapi juga diganjar hukuman. Kasus pemerasan yang dilakukan oleh Jaksa Burdju Ronni dan Cecep Sunarto pada perkara Jamsostek adalah salah satu contohnya. Atas ruwetnya persoalan korupsi ini, seorang bupati di Banten pernah berujar dalam sebuah obrolan ringan tentang ironisme ini. “Sekarang ini disaat para pejabat diperiksa karena diduga melakukan korupsi, disaat itulah oknum aparat hukum melakukan korupsi.”
Pada akhirnya kekuasaan dan kewenangan bagaimanapun sangat diperlukan untuk memberantas korupsi. Persoalannya adalah sejauh mana orang yang mengemban amanah kekuasaan dan kewenangan itu dapat bertanggungjawab baik di peradilan dunia maupun di akhirat nanti. Saya jadi teringat Taverne yang berkata “Berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun aku akan memperoleh hasil yang lebih baik.” Kita merindukan sosok penegak hukum semisal Baharudin Lopa di negeri ini. Dalam konteks ke-Bantenan yang islami, kita punya banyak teladan seperti Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar atau Umar bin Khottob yang sangat anti korupsi. Lopa telah selesai dan berhasil meneladaninya, bagaimana dengan kita? Wallahualam bi showab.
*Dosen Hukum Pidana Internasional FH Untirta, Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan anggota Mazhab Pakupatan.
-Catatan untuk peringatan Hari Antikorupsi Internasional-
Ferry Fathurokhman*
Tanggal 9 Desember 2003 telah menjadi hari bersejarah bagi dunia internasional juga Indonesia tak terkecuali. Hari itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Convention Againts Corruption) ditandatangani oleh 133 negara di Merida , Meksiko. Kita telah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi tersebut dengan Undang undang nomor 7 tahun 2006. Korupsi telah menjadi musuh dunia internasional. Dalam konteks Hukum Pidana Internasional, korupsi merupakan tindak pidana internasional. Cherif Bassiouni, pakar Hukum Pidana Internasional, membuat tiga unsur untuk mengategorikan sebuah tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional. Unsur internasional, transnasional, dan necessity (kebutuhan untuk melakukan kerja sama dengan negara lain). Dalam unsur internasional salah satu yang terpenting adalah bahwa tindak pidana tersebut haruslah mengandung unsur shocking to the conscience of humanity (menggoyahkan perasaan kemanusiaan) . Korupsi telah memenuhi unsur tersebut. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, menggoyahkan dan melukai perasaan kemanusiaan.
Indonesia memiliki prestasi yang luar biasa dalam hal korupsi. Kita tercatat sebagai the big ten negara terkorup. Program StAR (Stolen Asset Recovery Initiative) yang dibentuk oleh Bank Dunia dan PBB menempatkan mantan presiden kita Soeharto sebagai mantan presiden yang mencuri uang rakyat di urutan pertama dari 10 negara. Sembilan negara di bawah kita telah menyatakan para mantan presidennya bersalah. Hanya Indonesia yang belum menyatakan bersalah. Bahkan dalam kasasi perkara Soeharto versus Majalah Time, Mahkamah Agung memenangkan Soeharto dan menghukum Time membayar 1 Triliun rupiah kepada Soeharto. Time sebelumnya dalam sebuah edisi menyimpulkan Soeharto sebagai koruptor. Yang menggelikan dan memalukan, data yang dipakai Time untuk menyimpulkan Soeharto korup adalah data yang sama dengan yang digunakan Bank Dunia dan PBB dalam program StAR. Data tersebut diperoleh dari TI (Transparency International), sebuah NGO (Non-Governmental Organisation) internasional yang dikenal teliti dan rutin melakukan riset.
Memberantas Korupsi
StAR bukanlah program yang bertujuan untuk memojokkan suatu negara. Tujuan utama program itu adalah membantu negara yang bersangkutan untuk mendapatkan kembali uang rakyat yang telah dikorupsi. Permasalahannya adalah ada tidaknya kemauan kuat dari pemerintahan kita untuk mengambil kembali aset yang dicuri tersebut. Sebab negara yang berkepentinganlah yang harus aktif. StAR hanya membantu beberapa hal teknis yng diperlukan saja, misalnya pelatihan penelusuran harta yang dicuri dan menghubungi Bank- Bank Eropa dimana uang yang dikorupsi itu disimpan. Namun StAR hanya akan membantu jika ada kemauan kuat (willingness) dari kita. Permasalahannya kita punya ‘pekerjaan rumah’ besar tentang kemauan yang kuat.
Untuk memberantas korupsi kita membutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan komitmen yang kuat. Polisi-polisi, jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang baik.
Kita memang memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang relatif lebih baik untuk diharapkan yang saat ini baru saja terpilih setelah menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ). Namun beberapa keterbatasan KPK seperti masa kerja dan daya jangkau yang terbatas menjadi kendala tersendiri.
Pada akhirnya harapan kita ada pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) untuk memberantas korupsi. Namun berbagai peristiwa dan perilaku tercela yang melibatkan aparat penegak hukum membuat harapan dan agenda pemberantasan korupsi menjadi suram. Penyalahgunaan wewenang jabatan menjadi modus umum yang sering dilakukan. Hasil survei TII (Transparansi Internasional Indonesia)—sebuah NGO cabang dari TI—menunjukkan legislatif, polisi, dan sistem hukum/peradilan sebagai lembaga terkorup. Sistem peradilan disini termasuk di dalamnya adalah kejaksaan dan pengadilan. Ketiga lembaga tersebut dianggap paling korup dalam persepsi masyarakat. Meski hasil survei tersebut sempat dikritik Kepala Polri Jendral Polisi Sutanto, namun pada akhirnya ia berterima kasih karena survei itu akan memacu kinerja jajarannya.
Beberapa kasus dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat penegak hukum pernah diekspos di media. Pada tahun 2000 pernah muncul kasus yang menggemparkan Mahkamah Agung. Adalah Endin Wahyudin yang melaporkan para Majelis Hakim di Mahkamah Agung yang menangani perkara kasasinya, M. Yahya Harahap, SH, Ny. Marnis Kahar, SH, Ny. Supraptini Sutarto SH, ke Ketua TGPTPK Adi Andojo atas dugaan korupsi—dalam hal ini dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempat an atau sarana yang ada padanya karena jabatannya. Endin mengaku memberikan uang pada ketiga majelis hakim tadi masing-masing 50 juta rupiah untuk memenangkan perkara perdata yang sedang ditanganinya sebagai kuasa hukum para ahli waris. Perkara Endin dimenangkan, namun tak bisa dieksekusi, akhirnya Endin melaporkan peristiwa penyuapan tersebut. Marnis dan Supraptini kemudian mengadukan Endin ke Mabes Polri dengan tuduhan “pencemaran nama baik” pada Agustus 2000. Kasus ini dikupas tuntas oleh Harkristuti Harkrisnowo Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia dalam jurnal dictum edisi 1, 2002.
Di kalangan kejaksaan indikasi korupsi juga terjadi. Sebanyak tujuh kajari dicopot dari jabatannya oleh Kejaksaan Agung. Sebagian besar diduga kuat menerima suap dalam perkara korupsi yang ditanganinya, sedangkan satu orang kajari diduga berselingkuh di rumah dinasnya. Kepala Kejaksaan Agung, Hendarman Supanji sejak April 2007 memang berkomitmen untuk membersihkan kejaksaan dari perilaku tercela dan tidak profesional.
Di kepolisian kita menemukan Komisaris Jendral Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri tahun 2004-2005. Landung ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam perkara pembobolan Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu yang sedang ditanganinya.
Kasus-kasus di atas hanya beberapa saja dari kasus yang terjadi dan diekspos di media massa . Peristiwa ini hanyalah fenomena ‘gunung es’ saja. Layaknya anak Gunung Krakatau yang sedang aktif, yang terlihat hanyalah di permukaan laut saja, sementara di bawah permukaan laut masih lebih besar lagi. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa aparat penegak hukum bisa melakukan korupsi? Mengapa korupsi diberantas dengan korupsi pula? Statement dari Lord Acton setidaknya bisa menjelaskan pertanyaan ini.
Sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) pernah berujar “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup. Maka siapapun yang diberikan kekuasaan, ia memiliki potensi besar untuk korupsi. Pejabat publik yang memungli proyek, dosen yang menjual nilai, demikian juga dengan aparat penegak hukum : polisi, jaksa dan hakim, ketiganya diberikan kekuasaan dan karenanya memiliki potensi besar untuk korupsi. Dalam bahasa hukum, kekuasaan tadi diejawantahkan dalam bentuk kewenangan. Polisi, jaksa dan hakim diberi kewenangan yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) terhadap tersangka ataupun terdakwa. Jika dicermati dari kasus-kasus yang telah terjadi di atas ataupun yang lainnya, modus yang sering dilakukan biasanya terjadi dalam proses penetapan status tersangka, penahanan, substansi Berita Acara Pemeriksaan, dakwaan dan tuntutan juga vonis hakim. Atau modus lain misalnya dengan ‘memainkan’ seorang pejabat publik baik itu gubernur, wakil gubernur atau wakil bupati yang karena ketentuan undang-undang dibutuhkan izin presiden untuk dapat memeriksa si pejabat publik tadi. Surat permohonan izin pemeriksaan tadi merupakan kewenangan penyidik yang juga berpotensi untuk disalahgunakan. Negosiasi yang terjadi adalah diajukan atau tidak diajukannya surat permohonan pemeriksaan.
Dalam prakteknya, kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum semacam ini akan terungkap ketika ada whistle blower yang ‘bersuara’. Whistle blower bisa dari kalangan mana saja, orang yang muak dan gerah melihat korupsi, orang yang tak kebagian korupsi atau tersangka yang ‘digarap, digoreng’ hingga ‘kering’. Kategori yang ketiga ini yang kemudian dalam prakteknya sering bersuara. Karena sebagai manusia ia punya hati yang juga dapat kelelahan ketika diperas tapi juga diganjar hukuman. Kasus pemerasan yang dilakukan oleh Jaksa Burdju Ronni dan Cecep Sunarto pada perkara Jamsostek adalah salah satu contohnya. Atas ruwetnya persoalan korupsi ini, seorang bupati di Banten pernah berujar dalam sebuah obrolan ringan tentang ironisme ini. “Sekarang ini disaat para pejabat diperiksa karena diduga melakukan korupsi, disaat itulah oknum aparat hukum melakukan korupsi.”
Pada akhirnya kekuasaan dan kewenangan bagaimanapun sangat diperlukan untuk memberantas korupsi. Persoalannya adalah sejauh mana orang yang mengemban amanah kekuasaan dan kewenangan itu dapat bertanggungjawab baik di peradilan dunia maupun di akhirat nanti. Saya jadi teringat Taverne yang berkata “Berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun aku akan memperoleh hasil yang lebih baik.” Kita merindukan sosok penegak hukum semisal Baharudin Lopa di negeri ini. Dalam konteks ke-Bantenan yang islami, kita punya banyak teladan seperti Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar atau Umar bin Khottob yang sangat anti korupsi. Lopa telah selesai dan berhasil meneladaninya, bagaimana dengan kita? Wallahualam bi showab.
*Dosen Hukum Pidana Internasional FH Untirta, Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan anggota Mazhab Pakupatan.
No comments:
Post a Comment