Ferry Fathurokhman*
Suatu hari, Irbah, Siswa TK (Taman Kanak-kanak) Sekolah Peradaban—sekarang Irbah Kelas 1 Sekolah Dasar Sekolah Peradaban—pernah bertanya pada ayahnya tentang daun yang berubah warna menjadi kuning. Mungkin ia heran, sebab daun pada umumnya berwarna hijau. Maka saat ia menemukan daun yang menguning, tanyanya tak terbendung. Ayah Irbah saat itu sedang lelah, tapi ia tahu jika pertanyaan Irbah tak dijawab, maka itu akan mengurangi bahkan ‘membunuh’ kekritisan dan rasa ingin tahu Irbah yang secara sistemik akan mematikan potensi kecerdasannya. Maka dipendingnya jawaban untuk Irbah hingga pada suatu hari yang nyaman keduanya melakukan eksperimen kecil tentang proses menguningnya daun hingga mengering. Dan akhirnya Irbah tahu kenapa daun bisa berubah warna.
Cerita tadi disampaikan Ayah Irbah, Pak Bun Anam, dalam sebuah acara open house di Sekolah Peradaban Cilegon sekitar setahun lalu. Satu pesan penting dalam cerita Pak Bun yang bisa diambil adalah “Jangan mematikan potensi kecerdasan anak.”
Dalam keseharian terkadang tanpa sadar kita melakukannya. Dan ini umum terjadi pada orang tua bahkan guru sekalipun. Saat kita pulang kerja, badan masih lelah tiba-tiba anak bertanya ini itu. Respon spontan yang sering terlontar adalah “Aduh, kenapa ya?” “Wah, kalau itu sih tanya sama ibu aja.” “Duh bapak lagi capek ni nak,” dan kalimat lainnya yang pada intinya tidak menjawab dan tidak mau pusing dengan pertanyaan anak. Ini terjadi karena banyak faktor, kondisi fisik dan psikis yang lelah, menganggap anak terlalu cerewet, memandang sebagai hal yang sepele sehingga bukan sesuatu yang “wah” di ’mata’ kita.
Daun mengering adalah hal yang biasa dan tak aneh untuk kita. Tapi untuk anak, fenomena itu adalah hal yang pertamakalinya ia lihat dan itu hal yang aneh. Mungkin semut yang jalan beriringan, ’bersalaman‘ dan selalu menggunakan jalur yang sama adalah hal biasa bagi kita, tapi tidak bagi anak-anak. Kita banyak membiarkan, menerima semua apa adanya begitu saja tanpa berfikir kenapa bisa begitu? Sementara begitu banyak peristiwa yang sebenarnya penuh makna di sekitar kita yang bisa kita temukan. Kita bisa menemukannya pada pergantian siang dan malam hari, pada susu murni dalam sapi yang bisa terpisah dari kotoran, pada kaum yang dilanda bencana dan dibinasakan, pada turunnya hujan, pada bintang di malam hari dan pada-pada lainnya. Kesemuanya sering lewat begitu saja. Padahal kitapun diwajibkan memikirkannya. Kenapa bisa begitu? Ada apa di balik semua itu?
Setiap anak, setiap manusia, dibekali rasa ingin tahu (curiosity). Kecenderungan lingkunganlah yang membuat naluri rasa ingin tahu ini berkembang atau meredup. Kita telah mengenal kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Semua jenis kecerdasan memiliki insting itu, rasa ingin tahu. Kita akan menemukan seorang dominan kinestetik, linguistik atau kecerdasan lainnya bertanya, memenuhi rasa ingin tahunya. Namun insting atau naluri rasa ingin tahu, dominan dimiliki oleh seorang matematis logis. Seorang matematis logis dominan, cenderung sulit menerima sesuatu yang tidak masuk di akal, sesuatu yang ia belum tahu jawabannya.
Maka jika suatu hari anak kita bertanya, jangan patahkan rasa ingin tahunya. Pupuk dan kembangkanlah. Tapi juga jangan berikan jawaban instan. Buatlah sedemikian rupa sehingga jawaban itu merupakan hasil dari eksplorasinya. Rangsang pemikirannya. Berikan kailnya bukan ikannya. Kelak jika ia ingin makan lagi, ia tak akan minta ikan. Ia bisa mendapatkannya sendiri, ia punya kail.
Jika anak ingin mengambil buku dalam sebuah perpustakaan namun tak dapat dicapainya karena terlalu tinggi. Jangan ambilkan buku itu. Berikan ia tangga dan ia akan mengambilnya. Kelak jika ia membutuhkan buku yang lain, ia tahu, ia membutuhkan tangga untuk mengambilnya.
Tanpa kita sadari, pola pendidikan di kita cenderung memberikan segala sesuatunya dengan instan. Kita terbiasa didikte, dicekoki, spoon feeding, disuapi. Sehingga begitu kita dewasa dan menjadi penentu kebijakan, kitapun tak sadar menularkannya pada generasi kita. Kita tak menanamkan mental perjuangan. Justru sebaliknya, kita menanamkan mental pengemis. Santunan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pencabutan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) adalah salah satu contohnya. Masih segar dalam ingatan kita, dengan kebijakan tersebut orang berebut, berbondong-bondong ingin berstatus miskin agar dapat BLT Rp 100 ribu/bulan. Tiba-tiba banyak orang menjadi pengemis. Kita memberi ikan, bukan kail. Maka ketika Rp 100 ribu itu habis orang berfikir kembali bagaimana caranya agar mendapat Rp 100 ribu lagi secara gratis tanpa harus berusaha. Kebijakan itu menyisakan perubahan, sayangnya bukan perubahan yang baik. Kebijakan itu merubah mental mereka menjadi mental pengemis.
Saya memahami kenapa kebijakan itu bisa terjadi. Secara tak sadar itulah output pemikiran kita, hasil dari sistem pola pendidikan yang tak mencerdaskan yang tertanam dalam diri kita. Cukuplah kita saja yang mengalami kegagalan sistem pendidikan. Perlahan, kita harus mulai berbenah. Dan perbaikan sistem pendidikan itu kini mulai terlihat.
Anak-anak adalah aset bangsa. Mereka yang akan meneruskan perjuangan dan mengangkat derajat bangsa kita. Mereka adalah anugerah yang unik dan ’ajaib’. Maka biarkan kecerdasan mereka tumbuh dan berkembang. Jangan patahkan potensi kecerdasannya. Ada banyak keajaiban pada anak di manapun, di Sekolah Peradaban salah satunya. Suatu hari di pertengahan 2005, jam dinding di sebuah kelas mati, batrenya habis. Batre harus diganti, posisi jam tinggi, sulit dijangkau anak, bagaimana caranya? Lalu persoalan itu diserahkan pada anak-anak. Dan mereka berpikir, berdiskusi. Satu anak turun ke lantai bawah mengambil kursi. Dua orang lainnya saling bahu-membahu, membungkukan diri menjadi pijakan. Kedua cara yang dilakukan berbeda, tapi keduanya benar, keduanya berhasil. Batre berhasil diganti. Jam dinding hidup kembali. Kita akan menemukan keajaiban ini dimanapun tak hanya di peradaban, asalkan kita berikan mereka kepercayaan. Beri sedikit petunjuk, dorongan, biarkan mereka berfikir dan anda akan kagum dengan apa yang mereka lakukan. Wallahualam bishowab.
* Fasilitator Sekolah Peradaban Cilegon dan Dosen FH Untirta.
No comments:
Post a Comment