Saya sering tersenyum sendiri di peradaban (peradaban adalah kata yang biasa dipakai untuk menyebut Sekolah Peradaban. pen). Dua minggu lalu misalnya, Kelas 4 Bilal, (kelas matematis logis-viso spasial) saat pelajaran Bahasa Indonesia saya minta mereka ke laboratorium bahasa, membawa buku tulis dan pensil. Selembar kertas kerja saya berikan satu persatu pada anak-anak. Isinya berupa teks bacaan dan ruang (space) kosong untuk menulis ulang ejaan yang tak sempurna. Anak-anak membaca teks sesuai intruksi pertama. Lalu menyalin ulang satu paragraf dimana banyak kesalah ejaan di dalamnya. Tiba-tiba Haruman bertanya
”Pak ditulisnya di kertas ini?” tanyanya.
Saya mengiyakan.
”Kalau ditulisnya di kertas, ngapain tadi disuruh bawa buku tulis, buat apa buku ini?”
Saya terperangah, diam lalu tersenyum. “Ya kalau mau menulis di buku tulis juga nggak papa,” jawab saya sekenanya.
“Dih, aneh ngapain bawa buku?” ujar Haruman sambil mulai menulis di kertas kerja.
Haruman menanyakan hal tadi dua tiga kali. Jawabannyapun bervariasi, mencoba mengimbangi pertanyaan. Meski akhirnya menulis, jawaban yang tak memuaskannya mewujud dalam kerutan di keningnya.
”Anak cerdas,” batin saya. Senyum saya menyelimutinya. Saya dikalahkan Haruman hari itu. Baginya membawa buku tulis kemudian mengerjakan tugas dalam sebuah kertas di luar buku tulis adalah hal yang tak masuk akal. Lalu untuk apa buku tulis itu dibawa jika tak dipakai? Sementara saya terjebak rutinitas, kebiasaan membawa buku tulis untuk belajar, padahal saya tahu anak-anak akan mengerjakan tugasnya dalam sebuah kertas kerja.
Pertanyaan kritis juga pernah dilontarkan Tommy, putra Pak Anung, saat ia berada di Kelas 2 Muhammad (atau kelas 1? Saya lupa tepatnya. pen) setahun yang lalu. Hari itu adalah fun games menjelang (atau sesudah? Lupa lagi) perayaan—istilah yang dipakai di peradaban untuk menggantikan istilah ujian. Yang jelas fun games itu diadakan setelah market day.
Anak-anak Sekolah Peradaban mendapat misi menyelamatkan seorang puteri yang dijaga 3 alien. Anak-anak juga diberi misi untuk mencari satu bintang yang bisa ditempel di dada. Bintang itu nantinya bisa ditukarkan dengan segelas minuman segar.
Begitu perintah mencari satu bintang selesai diumumkan, semua berhamburan, berlarian mencari bintang. Hanya Tommy yang tak bersegera lari.
”Pak, ngambil bintangnya boleh lebih dari satu?“ tanyanya.
“Nggak boleh, satu saja,” jawab saya.
”Kenapa nggak boleh?”
”Sebab, sudah dihitung pas sejumlah anak, kalau ada yang lebih dari satu berarti ada anak yang nggak kebagian bintang.”
”O, jadi cuma boleh satu ya,” Tommypun segera lari mencari bintang meninggalkan saya yang senyum sendirian. Subhanallah. What a great kid. Ia tak bergerak hingga semuanya jelas dan masuk akal. Sesekali datanglah ke peradaban dan temukan ‘keajaiban’ anak-anak disana.
No comments:
Post a Comment