Sebuah kumpulan tulisan, puisi, cerita, foto, atau apa sajalah tentang saya, orang lain dan negeri ini.
Wednesday, October 04, 2006
Kampung yang tak Perlu Ustad
Kampung yang tak Perlu Ustad
Kampung kami sederhana saja. Sama dengan kampung – kampung lainnya di Pulau Jawa pada umumnya . Ada balai desa dengan alun – alun dan pohon beringin di tengahnya. Ada klinik desa, rumah dinas bidan dan juga bidan desa yang selalu jadi rebutan jejaka kampung kami. Bidan desa biasanya belum menikah dan hanya bermukim selama satu tahun, untuk kemudian diganti oleh bidan lainnya. Kata Pak Lurah, bidan desa kami adalah selalu bidan praktek yang menyempurnakan pendidikan bidannya untuk mendapatkan gelar bidan seutuhnya. Saya juga tak terlalu mengerti maksudnya tapi begitulah kurang lebihnya kata lurah kami.
Selain itu kekhasan kampung di Jawa adalah adanya surau diantara balai desa, alun-alun dan beringin. Dan justru surau inilah yang membuat masalah kampung kami jadi ruwet. Sebenarnya bukan suraunya yang bikin ruwet, tapi mungkin kami yang tak bisa mengurai masalah dan tak bisa dewasa menyikapi permasalahan.
Kampung kami memiliki dua ustad. Sebenarnya bagus. Semakin banyak ustad semakin bagus. Tapi masalahnya kedua ustad kami tak pernah akur. Dan keduanya punya pendukungnya masing – masing. Ini yang membuat kami, orang biasa pada umumnya merasa tak nyaman dan serba salah.
Ustad Burhan menguasai daerah barat kampung ini. Sedangkan daerah timur kampung ini dikuasai Ustad Mahmud. Celakanya ya itu tadi kami hanya punya satu surau. Itupun belum selesai dibangun, karena anggaran dana yang meleset dari hitungan kertas semula. Presiden negara kami menaikkan harga bahan bakar minyak, maka bahan material untuk surau kamipun ikut naik. Tak jelas kenapa, tapi kata tukang toko bangunan ya harus begitu, harus naik semuanya, sebab ongkos angkut bahan bangunan juga naik katanya. Untungnya surau kami sudah dapat dipake sholat bahkan sholat jumat, untuk air wudu Abah Zaini yang rumahnya berada di samping surau bersedia mengalirkannya untuk para jemaah.
Kondisi surau kami menyedihkan. Lantainya baru dikeramik sebagian, kusen dan jendelanya belum ada, masih bolong. Dindingnya baru disemen kasar, gentengnya belum ada, rencananya surau kami dibuat bertingkat, tapi kami baru sanggup satu lantai. Sementara rumah dikanan kiri surau walaupun tak mewah semuanya berdiri utuh, bahkan ada satu dua rumah besar mewah bertingkat dengan pagar yang kokoh milik para pembesar di kampung kami.
Kehidupan kampung kami bisa nyaman sebenarnya jika saja kami rukun. Rukun, itulah masalahnya. Karena kampung kami memiliki dua ustad tadi, dan ustad kami tak pernah rukun. Saya juga tak tahu pasti apa penyebab permusuhan keduanya. Kata orang – orang kampung sih bermula dari kehadiran Ustad Mahmud di kampung kami, awalnya keduanya akur, bahkan Ustad Burhan sebagai sesepuh di kampung ini menyambut dan mengenalkannya pada warga di setiap kesempatan pengajian, khotbah, dan acara riungan lainnya. Namun lama kelamaan Ustad Mahmud mulai dikenal dan disegani warga, banyak yang meminta nasihatnya, bahkan kepopuleran Ustad Burhan mulai kalah oleh Ustad Mahmud. Hingga akhirnya keduanya mulai renggang tak akur, bahkan saling merendahkan dan melecehkan di setiap kesempatan, termasuk dalam khotbah jumat di surau kami yang belum rampung itu.
Yang bingung akhirnya ya kami ini. Sebagian ada yang jadi pendukung setia ustad Burhan, sebagian lainnya ikut ustad Mahmud dan sebagian lainnya lagi memilih diam tak mendukung siapa-siapa.
Pernah suatu kali ustad Burhan khotbah bahwa ulama – ulama muda itu harus diwaspadai sebab bisa jadi karena pengalamannya yang kurang, dapat memberikan pemahaman yang salah pada umat. Padahal Ustad Mahmud juga ada waktu itu, ikut mendengar khotbah.
“Jadi omongannya harus di filter, harus kita seleksi mana yang benar mana yang tidak, betul apa betul,” katanya berapi-api.
Para tetua dan pendukung Ustad Burhan manggut-manggut. Para pendukung Ustad Mahmud tersentak dari kantuknya dan memandang sinis pada mimbar. Ustad Mahmud sendiri walaupun berusaha tenang, kupingnya memerah panas. Yang berusaha netral seperti saya dan yang lainnya hanya memandang bergantian melihat raut muka kedua pendukung.
Ustad Mahmudpun sama saja, tiap saya main ke rumahnya, omongannya selalu melecehkan. “Seharusnya ustad-ustad tua itu mengalah, bacaan sholatnya saja banyak yang salah dan tak jelas, ini bukan masalah tua muda tapi masalah benar salah,” katanya.
Pernah keluarga Ustad Mahmud mengadakan peringatan tahun baru Muharram di surau kami, ada lomba adzan dan mengaji dalam kegiatannya. Ustad Mahmud mengadakan peringatan ini karena inisiatifnya. Sebab katanya tidak ada yang mulai memperingatinya di kampung kami, jadi ia memelopori untuk mengadakannya. Saya ditunjuk jadi pembawa acara. Karena acaranya bagus dan untuk ibadah saya menyetujuinya. Malam setelah acara itu, saat saya mampir ke rumah Ustad Burhan saya didamprat habis – habisan. “ Ente ngapain bantu – bantu, lha wong itu acara keluarga dia kenapa nggak diadakan dirumahnya saja, kenapa harus di surau, waktu kerja bakti surau saja dia tak pernah datang kok, sekarang dia pake surau. Walaupun acaranya untuk ibadah tapi kalau caranya tidak baik ya salah juga,” sungutnya, panjang lebar tanpa bisa kuhentikan.
Begitulah semakin hari kampung kami semakin panas. Kampung kami jadi tak sejuk, hawanya curiga dan tak nyaman. Semua saling menyalahkan, bahkan silsilah keluarganya ditelusuri sampai jadi omongan yang tak enak. Semua celah yang ada pada kedua ustad itu dikorek hingga tetek bengeknya.
Hingga pada suatu hari. Pada suatu malam yang tak baik. Ketika semuanya tak bisa lagi menahan emosi, ketika suasana semakin panas. Malam itu menjadi malam celaka bagi kampung kami, malam jahanam. Malam itu malam jumat, malam yang seharusnya baik seperti malam-malam jumat di kampung-kampung pada umumnya.
Dua ustad kami mengadakan yasinan di tempat yang berbeda di rumahnya masing-masing. Entah setan mana yang merasuki kami setelah yasinan selesai, seperti biasa warga mulai ngobrol ngalor ngidul sambil menyulut rokok kreteknya masing-masing. Tiba-tiba saja obrolan kami mengarah pada pertikaian ustad kami.
“Iya tad, Mahmud sudah tak bisa dibiarkan, ia melecehkan ustad, ia tak menghormati yang tua, padahal dia kan cuma pendatang, masa kemarin dia bilang ustad sebaiknya dirumah saja tidak usah ngurus surau karena sudah tua,” sungut kang Udin yang memang terkenal asal jeplak.
“Iya benar din, bagaimana jika kita datangi dia malam ini, kita tanya apa maunya?”
“Jangan, langsung kita gebuk saja, kita sudah tau maksudnya ingin mengacau kampung.”
“Sudah, sabar, tak perlulah anarkis, kita tunggu saja, biar dia berbuat semaunya,” ustad Burhan coba menengahi.
“Ah, ustad ini terlalu sabar, kalau saya, sudah saya bakar rumahnya dari dulu.”
“Betul. Sudah, kita samperi rumahnya rame- rame malam ini”
“Betul,”
“Betul.”
“ Iya bakar saja,” sahut lainnya. Suasana menjadi tidak terkontrol, panas, gerah.
“Ok. ok. Toyib. Begini saja, kita temui dia malam ini tapi tidak untuk membakar atau nggebuk, hanya menanyakan maksudnya, bagaimana?” ustad Burhan coba menengahi kembali.
“Ya bolehlah,” sungut kang Udin.
“Baik,nggak papa.”
“Ya sudah, gitu juga bagus,” yang lain menimpali.
Setan seribu setan, mungkin karena berangkat rombongan dan suasana yang panas tak pernah ada ucapan salam saat tiba di rumah ustad Mahmud yang juga sedang yasinan dan juga membicarakan ustad Burhan. Tak ada ketok pintu. Tak ada assalamualaikum.
“Woi Mahmud keluar kau, apa maksudnya mengacau kampung kami,” seorang massa ustad Burhan curi start bicara.
Ustad Mahmud dan massanya yang sedang di dalam rumah kaget dan langsung keluar.
Belum sempat bicara, sebuah peci hitam melayang ke mukanya.
“Anjing, ustad gadungan,” seorang dari kerumunan ustad Burhan bicara.
Kerumunan ustad Mahmud berang dan langsung menyerang, merasa ustadnya dilecehkan.
Perkelahian masalpun terjadi, benar-benar terjadi tanpa terkendali. Bahkan dua orang ustad pun tak dapat mengendalikannya. Celakanya keduanyapun berkelahi setelah sebuah sarung entah dari mana melayang menyambar muka ustad Burhan.
Begitulah malam itu menjadi malam terjahanam di kampung kami. Saya sendiri jadi malu menjadi bagian dari kampung ini.
Esok harinya kampung kami sepi sesepi-sepinya, seperti kampung mati.
Seminggu kemudian rumah ustad Burhan dan ustad Mahmud kosong. Tak ada yang tahu ke mana mereka ada yang bilang ke Sumatera di Lampung sana, ada juga yang mengabarkan ke Medan. Mungkin mereka merasa terlalu berat dan tak sanggup menyandang nama ustad dipundaknya, mungkin juga yang lainnya, saya tak tahu.
Setahun kemudian ada keluarga muda menempati rumah ustadz Mahmud. Seorang lelaki muda dengan istri dan dua anak kecil manisnya. Kabarnya lulusan Al Azhar Kairo Mesir. Tapi ia hanya bertahan satu minggu. Sebab Kang Udin dan beberapa warga menemuinya.
“Anda ustad kan?” kata kang Udin.
“Ah bukan, saya hanya orang biasa.”
“Anda ustad, tak usah bohong, saya tahu anda ustad.”
“emmh, begini ustad, sebaiknya anda pindah dari kampung ini,”
“Tapi ada apa, kenapa, kenapa saya harus pindah,” lelaki muda itu heran.
“Sudah pergi saja, tak usah tahu, dan satu lagi, kampung kami tak butuh ustad,” ancam kang Uding yang berlalu begitu saja dengan para pemuda kampung kami. Mata mereka merah, dan seorang diantara mereka menggenggam erat botol minuman.
***
“Kita pindah mi,” lelaki muda itu berkata pada istrinya.
“Tapi kenapa bi.”
“Abi tak tahu, tapi sebaiknya kita pergi, ada sesuatu yang aneh di kampung ini, tapi sungguh abi tak tahu mi, semoga kampung ini dirahmatiNya, barangkali perlu beberapa ustad untuk membantu kampung ini,”
Begitulah kampung kami. Kampung yang tak perlu ustad. Sungguh, kami tak perlu ustad. Kenapa saya bisa tahu banyak? Karena sayalah yang menggenggam erat botol
minuman.
Didedikasikan untuk Dedi Wahyudin S.T.P. semoga dapat membawa perubahan bagi kampung-kampung lainnya, dimanapun dia berada.
Juga untuk para ustadz yang dituntut semakin bijak dan arif mengahadapi tantangan.
Cerita ini adalah fiktif. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan yang lainnya maka hanyalah suatu kebetulan.
FF. 220305, Padepokan Himsac.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment